Kalau misalnya kalian ngikutin sosial media akhir-akhir ini, kalian pasti sering banget dengar kata healing. Satu kata yang seribg banget digaungkan dimana-mana yaitu healing. Butuh self healing karena capek. Butuh healing karena kalian ada di toxic relationship dan berbagai macam healing di berbagai kalimat lainnya.
Yang jadi pertanyaan kenapa sekarang banyak banget orang yang pengen healing? Apakah Gen Z itu manja? Apakah healing itu bener-bener di perluin? Atau hanya cuma jadi pelarian doang?
Menurut buku yang ditulis oleh Prof Renald Kasali generasi z adalah generasi paling kreatif, tapi disaat yang bersamaan juga merupakan generasi yang kayanya mudah menyerah dan gampang sakit hati. Kenapa? Karena alasanya adalah kondisi perekonomian sekarang itu bisa jauh sejahtera daripada sebelumnya.Â
Dampaknya adalah orang tua sekarang cenderung buat ngasih apapun kepada anaknya dan muncul juga kebiasaan overprotective dan over sharing di orang tua.Â
Semuanya dikasih dan banyak juga hal yang memang diproteksi sama orang tua yang gak dialami sama anak-anak yang bisa jadi bikin anak-anak sekarang cenderung "manja" dan mungkin ingin segala yang instan.
Selain iru karena memang kondisi lebih sejahtera juga ya orang tua juga akhirnya ekspetasi yang tinggi, ekonomi naik dan lain sebagainya.Â
Biasanya orang tua itu berharap agar ekspetasi itu bisa dicapai, kalau enggak ya ada beberapa orang tua yang mungkin cenderung menyalahkan kita. Nah ini yang katanya membuat anak jadi bebannya berat, jadi takut gagal dan mudah cemas ketika mereka berhadapan sama hal yang nggak pasti.
Sudut pandang yang kedua. Kenapa generasi sekarang healing-healing terus? Katanya ada juga ini berhubungan sama media sosial. Media sosial ini banyak merubah kehidupan kita.Â
Kalau diperhatiin sebenarnya media sosial itu banyak digunakan untuk selebrasi keberhasilan untuk pamer sesuatu dan untuk ngomongin hal-hal yang positif, maksudnya tentang diri kita sendiri itu salah atau nggak sih?Â
Sebenarnya nggak salah juga tapi ini ngasih dampak tertentu yang akhirnya membuat kita cenderung melihat orang biasanya dari keberhasilan mereka saja. Prosesnya biasanya nggak kelihatan, jadi kita ngelihatnya yang sukses-sukses aja tapi nggak ngelihat susah-susah nya.
Akhirnya banyak dari kita yang bisa jadi sering ngebanding-bandingkan diri ngerasa bahwa kita nggak seberhasil itu atau mungkin kita merasa bahwa kita tuh harusnya lebih oke dari situasi yang sekarang terjadi pada kita. Dampaknya adalah katanya banyak orang di generasi ini yang sukses dan berhasil dalam waktu singkat, generasi instan lah intinya.Â
Pas gagal jadinya down banget dan ditambah lagi kita ngebandingin diri kita sama orang lain yang bisa jadi nggak serealistis itu untuk dibandingin atau bahkan ternyata kita ngebandingin sama orang yang bisa jadi nipu juga, cuma brand doang, cuma image doang tidak tau kan dibelakangnya kayak gimana. Kita terpapar sosmed memang dari kecil.
Kalau kita lihat dari sudut pandang psikologi perkembangan masa remaja merupakan waktu pencariaj identitas. Dan ketika kita nggak ngedapetin hal itu atau ketika kira memang krisisnya kurang tepat di fase itu gitu kita jadi lebih gampang merasa down. Belum lagi memang sekarang juga kita baru berada di masa pandemi dimana kehidupan kita berubah secara total.Â
Ada yang akhirnya jadi sukses dan besar dari sini. Tapi banyak juga yang mungkin gara-gara pandemi jadi gagal atau ngerasain dampak buruk dari pandemi ini akhirnya malah jadi ngedown.
Yang ketiga jawabanya adalah banyak yang bilang bahwa sekarang itu sebenarnya nggak beda-beda banget sama dulu, jadi sama-sama aja katanya. Bedanya adalah orang sekarang itu lebih humanis, lebih mandang manusia lebih baik daripada dulu dan lagi-lagi memang lebih melek soal kesehatan mental.Â
Jadinya ketika ada gejala yang dulu dianggap sepele karena sekarang udah lebih terbuka ya dicari tau meskipun dampaknya bisa jadi mungkin sekarang banyak self diagnosis atau mungkin banyak yang merasa bahwa dia butuh penyelesaian atau dalam bahasa psikologi butuh yang namanya stes coping.Â
Nah masalahnya di stes coping inilah healing-healing ini tu sebenarnya stres coping.Â
Memang generasi sekarang itu lebih melek tentang kesehatan mental tapi tidak bisa dipungkiri juga pemahaman soal gimana cara kita ngejaga kesehatan mental kita atau mengahadapi stres itu sebenarnya jarang banget di bahas gitu, kita nggak pernah kan belajar tentang ini di sekolahan.
Kecuali anak-anak yang belajar tentang kesehatan mental yang notabene biasanya belajar di kuliah misal anak psikologi, kesejahteraan sosial dan lain sebagainya.
Cara untuk menghadapi stres nggak cuma healing saja dan tentunya yang namanya stres solusinya tentu ada banyak. Nggak semua stres juga bisa kita handle tanpa healing. Yang jelas yang pertama kalian harus tau sebenarnya bahwa healing yang kita kenal sekarang yang menjadi perspeksi banyak orang tentang healing seperti liburan, istirahat, dan lain sebagainya.Â
Healing hanya salah sati jenis dari penanganan masalah, cuma salah satu bentuk stres coping dan ini enggak cocok buat semua.
Ada beberapa tips yang bisa kalian lakuin, karena kita semua ada di generasi sekarang. Pertama pahami bahwa setiap masalah itu bisa dikompleksikan berbeda-beda pada tiap orang.Â
Kedua solusi setiap masalah juga berbedan dan tidak apa-apa untuk healing. Ketiga fokus kepada hal yang bisa dikontrol dibandingkan dengan menyalahkan keadaan, lingkungan, teman, orang tua coba kalian lebih fokus ke diri kalian sendiri.
 Yang keempat atau yang terakhir adalah ketahuilah tanda-tanda ketika kalian butuh bantuan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI