Mohon tunggu...
Aulia Isna Ulinnuha
Aulia Isna Ulinnuha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta NIM: 21107030153 Asal dari Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Berada di Lingkungan Keluarga yang Toxic atau Broken Home?

17 Mei 2022   14:59 Diperbarui: 17 Mei 2022   15:13 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau nyebut kata keluarga. Apa hal yang muncul di pikiran kalian? Banyak dari kalian pasti berfikir tentang kebahagiaan atau hal hal yang positif. Mungkin sekarang baru kangen nih sama keluarga, sama Ibu, Ayah, Adik, atau Kakak. Tapi ada yang tidak seberuntung mereka yang merasakan hal positif kekita mendengar kata keluarga.

Justru sebaliknya orang-orang ini malas balik ke rumah, ngerasa keluarga itu menghambat dirinya dan ngerasa bahwa hal-hal yang berkaitan dengan keluarga itu negatif, ini tidak bisa dibilang salah karena memang ada aja gitu keluarga yang toxic.

Bukan menyalahkan Ibu atau Ayah kita tapi memang keadaannya saja yang seperti itu, yang membuat beberapa dari kita tidak suka dengan keadaan itu.

Tema kali ini sangat menarik dan mungkin related untuk sebagian orang yaitu cara mengatasi keluarga yang toxic. Bagaimanasih keluarga yang di bilang toxic itu? Yang kayak gimana sih kondisi broken home itu?

Ciri-cirinya memang banyak, bisa jadi salah satu ciri ini sudah terjadi lama di keluarga kalian dan meskipun sudah berlangsung lama namun banyak yang tidak sadar bahwa sebenarnya orang yang didalam keluarga tersebut bisa dibilang cukup toxic.

Ciri pertama dari keluarga toxic adalah kalian dikasih standar yang tidak realistis. Maksudnya adalah sebenarnya kalian udah sewajarnya bahwa masing-masing peran yang ada dikeluarga itu berperan sesuai dengan porsinya masing-masing.

Misal ayah tugasnya bekerja, ibu tugasnya ngurus anak. Ayah tugasnya nyuci baju, anak tugasnya nyuci piring atau jagain adik. Ini sebenarnya wajar dan normal, pembagian tugas tersebut wajar banget terjadi di sebuah keluarga.

Tapi tugas-tugas seperti ini di keluarga sebaiknya tidak mengganggu waktu kita untuk melakukan hal yang sewajarnya kita lakukan. Misal seorang anak ini adalah seorang mahasiswa, maka tugas anak tersebut adalah berkuliah, belajar, ikut organisasi, tidur yang cukup, dan yang lainnya.

Kalau standart orang tua sudah mengganggu kewajiban lain sampai kita melupakan hal yang sewajarnya kita lakukan ini adalah salah satu gejala dari keluarga yang toxic.

Terutama standart yang dikasih orang tua memaksa kita menjadi orang yang tidak kita mau, misal anak yang dipaksa masuk ke jurusan A, padahal si anak tidak mau.

Juga ketika anak dipaksa memegang semua tanggung jawab sampai si anak tidak bisa melakukan hal yang sewajarnya dilakukan. Dan standart-standart lain yang membuat kita merasa hidup kita itu kepaksa.

Ciri kedua, tidak terpenuhinya kebutuhan dan kita sebagai bagian dari keluarga. Keluarga itu sewajarnya punya peran untuk memberi kita privasi, keluarga itu membentuk disiplin dan memberikan kasih sayang ke kita, keluarga itu harua memastikan pendidikan untuk anak yang cukup, dan yang paling penting keluarga itu harus memenuhi kebutuhan dasar kita sebagai anak supaya bisa terpenuhi.

Memang ada beberapa faktor yang membuat kita tidak dapat terpenuhi kebutuhanya dari segi ekonomi maupun vinansial.

Namun jika kebutuhan tersebut tidak dipenuhi dengan sengaja maka keluarga tersebut sudah termasuk ke dalam keluarga yang toxic. Ini dicirikan dengan tidak adanya privasi pada anak, tidak dapat disiplin dan kasih sayang,bisa jadi karena orang tua terlalu kasar atau sebaliknya yaitu orang tua terlalu membebaskan anak.

Ciri ketiga, kalian selalu dikritik dan disalah-salahin dengan cara yang nggak baik. Sebenarnya tidak masalah mengkritik atau menyalahkan bila memang perilakunya salah.

Tapi kritik itu alangkah baiknya lebih fokus ke perilaku dan disampaikan secara asertif tanpa menyakiti perasaan si anak jadinya tidak membuat anak menjadi down dan ngerasa gak berguna setelah mereka dikritik.

Ketika anak melakukan kesalahan sebaiknya fokus dari kritiknya adalah perilaku bukan menyalahkan pribadi dari anak itu. Jadi yang coba dikritik adalah perilakunya, supaya perilaku spesifiknya itu bisa diperbaiki dan diubah diwaktu selanjutnya.

Jika dari ciri-ciri tersebut banyak yang terjadi dampak yang terjadi bisa banyak dan negatif. Pertama kita jadi ngerasa dikontrol banget samapi melanggar hak personal.

Kedua, kita jadi merasa tidak dihargai dan tidak disayang sama keluarga yang akhirnya membuat kita jaug dari keluarga. Ketiga, kita mulai lari ke hal-hal yang negatif secara berlebihan. Keempat, kita jadi merasa di-abuse, baik secara fisik maupun verbal.

Cara mengatasi dan meminimalisir dampak buruk dari keluarga yang toxic?

Pertama, mencoba untuk menerima keadaan. Biasanya banyak banget orang yang ketika sudah sadar bahwa orang tua mereka toxic mereka jadinya menyimpan dendam dan tidak bisa menerima bahwa mereka mengalami kejadian yang buruk dimasa lalu oleh orang tua mereka.

Kedua, cerita ke orang yang kita percaya, atau ke profesional. Ini berhubungan dengan point pertama mengapa kita belum bisa menerima, belum bisa ikhlas, dan belum bisa move on dengan kejadian masalalu adalah karena kita tidak pernah cerita, kita tidak pernah membagi beban kita kepada orang lain.

Jadinya sisa-sisa kenangan buruk masalalu tetap tinggal dikepala kita. Bisa jadi ini karena kita tidak mendapatkan teman yang bisa diajak bercerita, ini juga sebab dari keluarga toxic yang membuat kita jadi sulit untuk terbuka dan cerita sama orang lain.

Selain itu teman yang bisa mendengarkan cerita kita dengan baik juga mungkin belum kita dapat.

Tapi yang perlu kita sadari adalah tidak apa-apa untuk membagi cerita atau beban masa lalu kepada orang lain. Kalau selama ini kalian belum bisa terbuka, coba sekarang untuk lebih terbuka baik kepada teman, keluarga atau pacar.

Ketiga, mencoba untuk memaafkan dan memberi kesempatan kedua ke keluarga kalian. Meskipun anak bilang bahwa mereka tidak mau berbaikan atau memaafkan orang tua mereka yang toxic.

Sebetulnya, orang tua itu selalu mau bermaafan dan berbaikan lagi sama anaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun