Mohon tunggu...
Aulia Rossa Henita
Aulia Rossa Henita Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa administrasi negara

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Etika Publik dan Konflik Golongan

14 Desember 2021   22:44 Diperbarui: 14 Desember 2021   22:49 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

BANDAR LAMPUNG. Korupsi digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Di Indonesia sendiri, korupsi bukan hanya lagi sebagai candu, tetapi sebagai penyakit masyarakat. Lebih dari itu, korupsi dimainkan oleh orang-orang yang sangat berpengaruh dan bukan sembarangan orang. Mulai dari politisi, pejabat publik sampai penegak hukum pun terlibat dalam belenggu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tersebut. Hal inilah yang tentunya sekan-akan menyayat hati masyarakat. Adapun fenomena-fenomena di atas dapat menjadi jebakan cermin adanya kelemahan dari pada etika publik di Indonesia. 

Berbicara etika publik, etika publik adalah refleksi tentang standar atau norma yang menentukan baik-buruk dan benar-salah suatu perilaku, tindakan dan keputusan yang nantinya mengarahkan kebijakan publik pada tanggung jawab pelayanan publik. Ada tiga fokus etika publik. Pertama, pelayanan publik berkualitas dan relevan, artinya kebijakan publik dituntut harus responsif mengutamakan kepentingan publik. Kedua, fokus pada refleksi dan norma yang etis. Adapun dua fugsi ini dapat menciptakan suatu budaya etika dalm organisasi dan membantu integritas pejabat publik. Ketiga, modalitas etika yang menjembatani norma moral dan tindakan. Ketiga fokus ini dapat mencegah terjadinya konflik kepentingan. 

Dalam perjalanannya, etika publik berkembang dari keprihatinan terhadap pelayanan publik yang buruk karena adanya konflik kepentingan dan juga korupsi. Konflik kepentingan tidak hanya mendapatkan materi semata, juga melainkan dalam semua bentuk dan dapat merugikan orang lain termasuk menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Seperti kasus rice notice pejabat polri Napoleon Bonaparte dalam penangan kasus Joko Tjandra. Pelanggaran kode etik pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar dengan walikota Tanjung Balai M Syahrial. Terbaru, terjeratnya Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsudin dan Penyidik KPK AKP Robin dalam suap perkara korupsi yang sedang ditangani pihak berwajib. 

Contoh kasus di atas tentunya menjadi cerminan, bahwa etika publik masih sangat rendah dan konflik kepentingan menjadi ajang yang paling sering dipergakan bandit-bandit pengejar rente di Indonesia. Tentunya hal ini sangat berkaitan antara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dengan tingkat pelayanan, kualitas pelayanan dan integritas pejabat publik. Dibutuhkan revolusi mental yang jelas dan kuat baik dari segi peraturan dan perundang-undangan nya juga dalam segi sumber daya manusia yang jauh dari sifat tamak dan shopis dalam mencari keuntungan semata. 

Penulis 

Fadel Aliemsyah Darmawan S.I.P 

Aulia Rossa Henita S.A.N 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun