Mohon tunggu...
Aulia Gurdi
Aulia Gurdi Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

spread wisdom through writing...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mengapa Bisa Rangga Seorang Bocah SMP Bunuh Diri?

18 Januari 2015   04:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:55 8605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_391448" align="aligncenter" width="544" caption="ihak keluarga Rangga saat di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut, Cilandak, Jakarta Timur. (Dwi Rizki/ Wartakota)"][/caption]

Dua hari lalu, di media tersiar kabar tentang kisah gantung dirinya Rangga, seorang bocah SMP dalam lemari, seperti diberitakan di sini, Kisah pilunya menyebar secara cepat melalui media sosial. Ini menambah deretan panjang catatan kelam prilaku anak remaja yang memprihatinkan. Dikabarkan Rangga adalah seorang anak broken home yang tidak lagi tinggal bersama ayah dan ibunya. Kurang kasih sayang, demikian dugaan penyebab perbuatan nekadnya. Bak kisah drama dalam sinetron. Anak bermasalah produk perceraian, tak diperhatikan orang tua, menjadi pendiam dan tertutup, lalu mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Sungguh rantai yang lengkap!

Bunuh diri apalagi dengan menggantung diri, tentu adalah hal mengerikan yang bila ditilik dengan akal sehat rasanya manusia dewasa akan berpikir ribuan kali untuk melakukannya. Apatah lagi bila ini dilakukan seorang bocah belasan tahun. Ide gila ini harusnya lebih menakutkan bagi anak seusia mereka. Namun mengapa bisa ini terjadi? Mengapa mereka bisa begitu impulsif?

Anak adalah jiwa yang hidup. Yang butuh perhatian dan diberi kasih sayang yang cukup. Kadang keadaan tak beruntung menjadikan sebagian anak  harus dewasa sebelum waktunya. Diharuskan mengerti banyak hal yang belum bisa mereka pahami. Tanpa bisa memilih, mau tak mau harus menerima kekisruhan rumah tangga kedua orang tuanya yang berujung pada perpisahan. Andaipun harus memilih, ikut salah satu dari kedua orang tuanya, boleh jadi inipun menjadi hal terberat dan tak mudah bagi sang anak. Bagai buah simalakama.

Namun disini saya tak sedang ingin mendeskritkan sebuah perceraian, Karena pada banyak kasus adakalanya perceraian adalah jalan keluar tak terelakkan dari sebuah persoalan pelik dalam biduk rumah tangga. Tentu tak semua perpisahan orang tua menghasilkan produk anak bermasalah. Masih banyak orang tua yang meski bercerai tetap sukses menghantar anaknya menjadi manusia berguna, berhasil mendidik anaknya untuk melewati masa-masa sulit yang boleh jadi merenggut gambaran kebahagiaan masa kecil yang diidentikkan anak memiliki orangtua lengkap, berayah juga beribu.

Kembali ke soal bunuh diri bocah Rangga. Broken home boleh jadi menjadi pemicu pertama dalam efek domino dari rantai anak bermasalah. Broken home membuat anak menjadi kesepian. Kesepian membuatnya mencari jalan pelarian keluh kesah. Jalan itu bisa merunut pada dua hal, baik dan buruk. Anak yang masih terkontrol oleh salah satu orang tua, mungkin bisa menyalurkan energi negatifnya melalui kegiatan positif. Namun, pada anak yang lepas dari kontrol kedua orang tua, persoalan kemudian menjadi kompleks. Mereka seringkali akhirnya terjerat pada pergaulan tak baik. Mencicip sex bebas, narkoba sampai akhirnya menjadi pecandu adalah kasus yang amat sering kita dengar. Dan pada anak yang semakin introvert, hal terburuk yang paling mungkin terjadi untuk mengatasi beban hidupnya adalah seperti yang terjadi pada Rangga, mengambil jalan pintas gantung diri.

Dalam broadcast yang tersebar di jejaring maya, Rangga dikabarkan penggemar kartun sadis Manga asal Jepang. Masih diceritakan di broadcast itu, kartun-kartun ini mengajarkan bahwa mati itu akan menemukan kedamaian. Disana juga ada games yang mengajarkan how to suicide slow and peaceful. Sungguh brainwash yang amat mengerikan!

Lepas dari benar tidaknya cerita broadcast ini, yang pasti orang tualah yang tetap menjadi kunci kebahagiaan anak. Kadang dengan otoritasnya, orang tua sering merasa tak pernah salah hingga anak harus mengikuti semua keinginannya, bahkan semua dilakukan atas nama rasa sayang. Tidak ada komunikasi dua arah, tidak ada kebebasan menentukan pilihan, membuat anak menjadi frustasi dan merasa tak berharga dan kurang dihargai sebagai individu.

Menurut Elly Risman dari Yayasan Kita dan Buah Hati, banyaknya tendensi anak usia 10-14 tahun untuk bunuh diri adalah karena beberapa alasan kejiwaan yang menjadi pemicunya, diantaranya mereka merasa tidak berharga, merasa terperangkap seperti dalam selimut tebal, sampai dengan menyimpan perasaan menyesal mengapa mereka dilahirkan. Mirisnya, hal ini sering tersebab karena orang tua yang sering terlambat sadar betapa kejam mereka pada jiwa anak mereka sendiri dengan menutup ruang dialog karena faktor stereotip bahwa orang tua adalah yang paling benar. Menuntut anak hanya memenuhi impian orang tua tanpa pernah mau bertanya apa impian mereka.

Kini masalah ini menjadi epidemic. Rangga mungkin hanyalah satu contoh dari fenomena gunung es dari peliknya kasus-kasus remaja saat ini. Manga, games, yang mendorong seorang anak bunuh diri hanyalah sarana mempercepat terwujudnya keinginan mereka. Selebihnya tentu semua kembali pada kesadaran para orang tua untuk lebih aware terhadap esensi persoalan anak. Yang pasti rumah adalah tempat anak pulang, dimana di sana pelukan ayah ibu menjadi penentu hari esok yang gemilang.

Pray for Aga, semoga Allah memelukmu erat...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun