Museum Sri Baduga merupakan sebuah museum yang berlokasi di Jl. BKR No. 185, Kota Bandung, Jawa Barat, yaitu tepat bersebrangan dengan Monumen Bandung Lautan Api. Museum ini didirikan pada tahun 1974 dan diresmikan 5 Juni 1980 oleh Dr Daud Yusuf, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu.
Museum Sri Baduga dibangun dengan bentuk model campuran antara arsitektur modern dengan model rumah panggung tradisional khas Jawa Barat. Museum ini dibangun diatas tanah yang dulunya adalah kantor Kawedanan Tegallega dengan luas 8.030 m2. Nama museum ini diambil dari nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji I Pakwa Pajajaran Sri Ratu Dewata, yang dimana ia merupakan seorang raja Sunda sekitar abad ke-16. Koleksi pada Museum Sri Baduga dikelompokkan menjadi 10 klasifikasi yaitu geologika, etnografika, biologika, arkeologika, numismatika, historika, seni rupa, filologika, teknologika, dan keramologika. Untuk masuk ke dalam Museum Sri Baduga para pengunjung dikenakan tarif tiket. Pengunjung anak-anak dikenakan tiket dengan harga Rp2.000 dan pengunjung dewasa sebesar Rp3.000. Museum Sri Baduga buka setiap hari Selasa sampai Jumat pukul 08.00-16.00 WIB dan Sabtu sampai Minggu mulai pukul 08.00-14.00 WIB, dengan libur di hari Senin.
Pada lantai tiga Museum Sri Baduga menampilkan koleksi yang berkaitan dengan permainan tradisional, teknologi berkaitan dengan mata pencaharian, model arsitektur, dan terdapat juga koleksi senjata pustaka. Pada artikel ini, saya akan membahas salah satu bangunan yang berkaitan dengan arsitektur tradisional Jawa Barat yaitu Bale.
Alasan memiih Bale sebagai objek artikel ini, karena keunikan arsitektur dan bangunan tradisional khas Jawa Barat dan masih jarang saya temukan artikel yang membahas mengenai objek tersebut. Selain itu yang menarik lagi adalah karena fungsi dari Bale ini sendiri yaitu tempat berlangsungnya musyawarah. Musyawarah mempunyai keterkaitan erat dengan komunikasi budaya karena melibatkan pertukaran informasi dan interaksi di dalam suatu konteks komunikasi budaya.
Koleksi yang disajikan pada museum Sri Baduga ditata berdasarkan alur cerita perjalanan sejarah alam dan budaya Jawa Barat. Koleksi tersebut mencakup berbagai macam artefak, lukisan, dan benda bersejarah yang mencerminkan kekayaan budaya serta sejarah masyarakat sunda. Salah satu yang akan kita bahas saat ini adalah Bale. Kata Bale berasal dari bahasa Sunda yang mempunyai arti bangku tempat duduk, tempat orang-orang desa berbincang sesama tetangga rumah. Di daerah Cirebon, Bale diletakkan di ruang depan rumah bangsawan. Fungsi dari Bale sendiri adalah sebagai tempat menerima tamu. Selain itu, Bale juga berfungsi sebagai tempat orang-orang melakukan musyawarah.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Bale banyak ditemukan di setiap desa di Jawa Barat karena akibat dari pembentukan desa-desa pada saat itu. Bale di Jawa barat merupakan bangunan luas dan terbuka, tanpa dinding, atapnya berbentuk limas yang bertumpu pada beberapa tiang, dan lantainya dinaikkan dua atau tiga kaki di atas tanah. Menurut Kopendium Sejarah Arsitektur (Djauhari Sumintardja: 1978: 14) ketika lantai pada sebuah ruangan ditinggikan artinya ruangan tersebut mempunyai penggunaan yang lebih penting. Bale yang tidak mempunyai dinding ini mempunyai tujuan tertentu. Tujuannya adalah agar ketika disana dilakukan pertemuan dengan dihadiri banyak orang, sirkulasi udara tetap lancar dan pertemuan tersebut berlangsung dengan lancar tanpa merasa panas. Alasan lainnya adalah untuk memudahkan penggunaan ruangan tersebut untuk kepentingan umum lainnya.
Bale mempunyai bagian-bagian, diantaranya adalah:
- Umpak, yaitu alas tiang terbuat dari batu bata yang diambil dari batu alam utuh. Di Cirebon disebut “ganjel”.
- Tiang atau disebut juga Saka, adalah batang kayu balok besar dan kuat berjumlah empat, enam atau delapan buah. Fungsi dari tiang ini adalah menopang bagian atas dan tempat menempel lantai.
- Lincar atau waton, yaitu bagian pinggir dari lantai palupuh, terbuat dari kayu besar dakuat yang dilempengkan. Kedua ujungnya diruncingkan berguna untuk mengikat bagian lainnya.
- Darurung atau dlika, adalah balok kayu yang diletakkan di bawah palupuh saling tindih dan menyilang. Fungsinya yaitu tempat dudukan palupuh.
- Palupuh atau gelar, yang terbuat dari lempengan bambu, gunanya untuk lantai dari bangunan Bale.
- Atap atau rangken, terbuat dari alang-alang yang digabungkan dan disusun menjadi atap dari bangunan Bale.
- Cangkolan Rangken yaitu pengganti paku yang berguna untuk melekatkan rangken pada kerangkanya.
- Adeg atau ander, adalah sebatang kayu yang dipasang tegak di bagian atas pangeret.
- Sepatu, yaitu dudukan dari adeg agar stabil.
- Pangaret atau slandar, yaitu kayu tempat bertumpunya ander.
- Pamikul atau panglari, adalah kayu yang menghubungkan slander satu dengan yang lainnya.
- Papurus adalah kayu yang diruncingkan menyerupai paku gunanya untuk menghubungkan masing-masing bagian.
Fungsi dari bangunan Bale adalah sebagai tempat berlangsungnya musyawarah. Dalam Konteks komunikasi budaya, musyawarah mempunyai peran besar untuk mencapai kesepakatan atau membuat keputusan antarindividu atau kelompok yang berasal dari budaya yang berbeda. Musyawarah biasanya ditemukan pada berbagai konteks budaya, baik pada konteks formal maupun informal. Bagi bangsa Indonesia, yang sejatinya terdiri dari beragam suku bangsa, bahasa dan agama, musyawarah sudah menjadi nilai budaya dalam berperilaku. Bermusyawarah artinya berhubungan dengan orang lain dan pasti ada pesan didalamnya dimana kedua hal ini saling berkaitan. Musyawarah mempunyai tujuan yaitu agar suatu masalah dapat dipecahkan tanpa merugikan orang lain serta dengan cara yang adil. Adanya budaya musyawarah sebagai budaya turun menurun bangsa Indonesia, dapat terlihat secara fisik dalam kehidupan masyarakat yaitu dengan adanya Bale di setiap desa sebagai tempat berkumpulnya segenap para tetua untuk membicarakan sesuatu, seperti fungsi dari Bale yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Dengan mengetahui sejarah arsitektur tradisional seperti ini, tidak hanya berguna untuk mengenang masa lalu, tetapi juga memberikan landasan bagi perkembangan dan inovasi di masa depan, sekaligus juga menjaga dan merawat kekayaan budaya yang telah ada.
Referensi:
Muanas, Dasum. 1998. Arsitektur Daerah Jawa Barat. Jakarta: Pialamas Permai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H