Pendahuluan
Pernyataan Megawati Soekarnoputri tanggal 5 Juli 2024 tentang "menggeruduk KPK" jika Hasto Kristiyanto dijadikan tersangka memicu perdebatan luas di tengah masyarakat. Ucapan tersebut Kembali menjadi viral setelah Hasto, Sekjen PDIP, ditetapkan jadi tersangka oleh KPK.
Ucapan tersebut, yang datang dari Ketua Umum PDIP—partai terbesar di Indonesia—menimbulkan pertanyaan tentang batas antara retorika politik, ekspresi emosional, dan ancaman nyata terhadap independensi lembaga hukum. Mengingat posisi KPK sebagai simbol perjuangan melawan korupsi, isu ini memiliki dampak yang signifikan terhadap kepercayaan masyarakat, citra partai, dan kualitas demokrasi di Indonesia.
Retorika dan Konteks Politik
Ungkapan "menggeruduk KPK," jika dipahami secara harfiah, dapat dianggap sebagai bentuk tekanan politik yang tidak sejalan dengan prinsip negara hukum. Sebagai tokoh senior, Megawati memiliki pengaruh besar yang dapat mengarahkan opini publik dan kader partainya. Dalam konteks ini, ancaman tersebut menciptakan persepsi bahwa kekuatan politik dapat digunakan untuk melindungi kepentingan individu, khususnya kader partai yang bermasalah secara hukum.
Namun, ada interpretasi lain bahwa ucapan tersebut adalah bentuk retorika politik untuk menunjukkan keberpihakan kepada loyalis partai. Dalam politik, retorika semacam ini sering digunakan untuk mempertahankan solidaritas internal, terutama ketika seorang kader utama menghadapi kasus hukum yang berpotensi merusak citra partai. Meski begitu, retorika politik yang menyerempet isu hukum dapat memperburuk persepsi publik terhadap komitmen partai terhadap supremasi hukum.
Fakta bahwa KPK tetap menetapkan Hasto sebagai tersangka menunjukkan bahwa lembaga tersebut tidak tunduk pada tekanan politik. Penetapan tersangka ini didasarkan pada bukti, termasuk keterlibatan Hasto dalam kasus korupsi seperti dugaan suap Harun Masiku yang telah mencuat sejak lama. Dengan tetap memproses kasus ini, KPK mengirim pesan bahwa hukum harus berdiri di atas segala bentuk intervensi politik.
Kasus Pembanding di Indonesia
Perdebatan antara independensi lembaga hukum dan tekanan politik bukanlah hal baru di Indonesia. Salah satu contoh paling mencolok terjadi pada 2015 dalam kasus "Cicak vs Buaya," yang melibatkan perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Sejumlah pimpinan KPK menjadi target kriminalisasi setelah mengusut kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi. Meskipun tekanan politik terhadap KPK sangat kuat, dukungan publik yang besar memungkinkan lembaga antirasuah ini tetap bertahan dan menjalankan tugasnya (Tempo, 2015; Kompas, 2015).
Dalam kasus lain, penanganan perkara Setya Novanto sebagai Ketua DPR juga menunjukkan bagaimana tekanan politik dapat memengaruhi jalannya hukum. Pada awalnya, Setya Novanto menggunakan berbagai cara untuk menghindari jerat hukum, termasuk memanfaatkan kekuatan politik dan hukum. Namun, KPK tetap gigih dalam penyelidikannya, dan akhirnya berhasil membuktikan keterlibatan Novanto dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP), meskipun proses tersebut diwarnai berbagai hambatan, termasuk upaya praperadilan (BBC Indonesia, 2017; Detik, 2018).
Kasus-kasus ini memperlihatkan pola tekanan politik terhadap KPK yang berulang. Walaupun demikian, KPK sering kali menunjukkan independensinya. Namun, tekanan politik semacam itu tetap meninggalkan dampak pada persepsi publik mengenai kredibilitas lembaga ini (Liputan6, 2021).
Kasus Pembanding di Negara Lain
Fenomena tekanan politik terhadap lembaga hukum bukanlah isu yang terbatas di Indonesia, melainkan sebuah tantangan global yang menguji independensi dan integritas sistem peradilan di berbagai negara. Tekanan ini dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari intervensi langsung oleh pihak eksekutif atau legislatif, hingga kampanye publik yang dirancang untuk mendiskreditkan lembaga hukum atau hakim tertentu. Salah satu contoh yang mencolok terjadi di Brasil dengan Operasi Lava Jato (Car Wash).