Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kasus Tom Lembong, Penegakan Hukum atau Politis?

31 Oktober 2024   16:50 Diperbarui: 31 Oktober 2024   16:50 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus dugaan penyelewengan yang menimpa Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan Indonesia, menjadi sorotan tajam publik, terutama di kalangan pegiat anti-korupsi. Sebagai warga negara yang mendukung penuh pemberantasan korupsi, kita tentu senang dengan setiap upaya untuk mengusut dan menangkap para koruptor.

Namun, ada kekhawatiran bahwa pengusutan kasus Tom Lembong ini mengandung aspek politis, mengingat Tom kerap berseberangan dengan pemerintahan terdahulu dan pemerintahan saat ini.

Pengusutan kasus Tom ini merujuk pada kebijakan impor gula yang ia ambil pada tahun 2015-2016 saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Kini, sembilan tahun kemudian, kebijakan yang diambil untuk mengizinkan pihak swasta mengimpor gula industri kembali disorot.


Keputusan tersebut awalnya dimaksudkan untuk memastikan pasokan gula industri tetap stabil dan kompetitif. Kebijakan Tom memang berbeda dengan ketentuan impor gula konsumsi yang sepenuhnya dikelola oleh BUMN, seperti yang diungkapkan oleh pengamat Said Didu. Namun, karena aturan impor gula industri tidak seketat aturan untuk gula konsumsi, kebijakan yang memberi peran swasta ini menuai kritik dan akhirnya berujung pada tuduhan.

Beberapa ahli menilai bahwa jika kebijakan seorang menteri dapat dijadikan dasar dugaan pelanggaran hukum, hal ini akan berdampak luas bagi pejabat publik lainnya. Banyak yang khawatir bahwa keputusan strategis yang diambil dalam batas kewenangan bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum di masa mendatang.

Jika ini dibiarkan, akan muncul tekanan yang berlebihan bagi para pengambil kebijakan, yang bisa menyebabkan "policy paralysis" atau kelumpuhan kebijakan---di mana para pejabat memilih untuk tidak mengambil keputusan penting demi menghindari risiko hukum.

Tidak bisa dipungkiri, ada banyak kebijakan pemerintah yang berpotensi merugikan masyarakat, tetapi sayangnya tidak semua ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Kasus Tom Lembong menimbulkan pertanyaan besar mengenai konsistensi dan objektivitas dalam penegakan hukum.

Jika Tom diusut atas kebijakannya sembilan tahun silam, bagaimana dengan para Menteri Perdagangan setelahnya yang mencatatkan jumlah impor gula lebih tinggi? Jika kebijakan dapat dikriminalisasi, maka semua kebijakan yang menimbulkan kontroversi dan dianggap merugikan negara harus diperlakukan sama---baik itu yang diambil oleh pejabat saat ini atau yang akan datang.

Sebagai contoh, beberapa kebijakan kontroversial lainnya yang masih hangat di benak publik adalah masalah kuota haji plus atau haji khusus di masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, yang kabarnya bisa mencapai biaya hingga 1 miliar rupiah per orang. Selain itu, kebijakan food estate pada masa Presiden Joko Widodo juga menuai kritik karena dianggap kurang berhasil dalam mencapai tujuannya memperkuat ketahanan pangan nasional. Kebijakan hilirisasi juga menjadi sorotan, di mana pemerintah menggalakkan pengolahan produk mentah dalam negeri, tetapi menghadapi tantangan besar dalam praktiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun