Pembuka
Perundungan di lembaga pendidikan merupakan masalah serius yang membutuhkan perhatian khusus, terutama dalam konteks pendidikan kedokteran di Indonesia. Tidak hanya terjadi di tingkat sekolah dasar dan menengah, fenomena ini ternyata juga merambah ke jenjang perguruan tinggi, termasuk di program spesialis kedokteran. Â
Kasus-kasus perundungan ini sering kali berujung tragis, dengan dampak negatif pada kesehatan mental dan fisik korban. Terbaru, seorang dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialis di Jawa Tengah mengalami depresi berat dan mengakhiri hidupnya, diduga akibat perundungan yang dialaminya.
Dari berbagai informasi yang beredar, perundungan di kalangan mahasiswa kedokteran seolah menjadi hal yang "biasa" dan diterima. Tidak hanya tekanan psikologis yang dirasakan, beberapa sumber menyebut bahwa perundungan ini juga melibatkan pemerasan finansial, di mana mahasiswa spesialis dipaksa memberikan uang atau melayani kebutuhan pribadi senior, yang semakin memperparah beban yang harus ditanggung oleh korban.Â
Tindakan ini, yang dikenal sebagai "perundungan finansial," menciptakan tekanan tambahan yang tidak ada kaitannya dengan proses pendidikan. Fenomena ini sangat kontras dengan harapan terhadap seorang dokter yang seharusnya mengutamakan kemanusiaan, dedikasi, dan perhatian dalam menjalankan tugasnya.
Penyebab Perundungan di Pendidikan Kedokteran
Budaya hierarki yang ketat dan senioritas menjadi salah satu akar masalah mengapa perundungan dalam pendidikan kedokteran terus terjadi. Senioritas sering kali disalahgunakan, di mana junior diharapkan patuh tanpa pertanyaan.Â
Dalam sistem ini, senior merasa berhak memerintah junior untuk melakukan tugas-tugas yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan mereka, seperti melayani keluarga senior atau membelikan makanan.Â
Tindakan ini menjadi bagian dari siklus perundungan yang sulit diputus karena dianggap sebagai "tradisi" atau "pendidikan karakter." Sayangnya, justifikasi semacam ini salah kaprah dan mengabaikan kesejahteraan mental para mahasiswa.
Tekanan akademis dan klinis yang berat juga turut berkontribusi. Mahasiswa kedokteran dan dokter umum yang mengikuti program spesialis dihadapkan pada beban kerja yang sangat tinggi, baik dari segi akademis maupun praktik.Â
Tekanan tersebut bisa menyebabkan beberapa orang melampiaskan stres kepada junior atau rekan sebaya melalui perilaku perundungan. Di sisi lain, para junior sering kali merasa tidak berdaya untuk melawan karena takut akan konsekuensi sosial atau akademis, seperti dikucilkan atau diberi penilaian yang buruk.
Ironisnya, beberapa pelaku perundungan membenarkan tindakan mereka sebagai "pelatihan mental" untuk mempersiapkan junior menghadapi kerasnya dunia kerja medis. Padahal, perundungan semacam ini justru merusak integritas profesi kedokteran yang seharusnya menjunjung tinggi etika, empati, dan rasa hormat.
Dampak Serius: Dokter Mundur dari Pendidikan Spesialis
Akibat tekanan yang berlebihan, banyak dokter umum akhirnya memutuskan untuk berhenti dari program spesialis, meskipun mereka telah membayar biaya kuliah yang tinggi. Ini adalah situasi yang sangat menyedihkan, mengingat profesi dokter adalah panggilan mulia yang membutuhkan komitmen terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
 Beberapa dokter yang memutuskan berhenti merasa kecewa dengan sistem pendidikan yang tidak memberikan dukungan, baik secara emosional maupun mental, yang seharusnya menjadi prioritas dalam lingkungan pendidikan kedokteran.
Mundurnya dokter dari program spesialis akibat perundungan dan tekanan ini bukan hanya kerugian bagi mereka secara pribadi, tetapi juga bagi masyarakat. Indonesia masih membutuhkan banyak dokter spesialis di berbagai daerah, terutama di daerah terpencil yang sering kali kekurangan tenaga medis.
Keputusan untuk berhenti dari pendidikan spesialis merupakan dampak langsung dari sistem yang tidak mendukung, dan ini merupakan masalah serius yang harus segera diatasi.
Perlu Tindakan Tegas dan Dukungan Pemerintah
Mereka yang melakukan perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran jelas tidak pantas menjadi dokter. Tindakan tersebut tidak hanya melanggar etika profesional, tetapi juga masuk dalam kategori tindakan kriminal. Perundungan, baik secara fisik, mental, maupun finansial, adalah bentuk kekerasan yang harus dihentikan.Â
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan otoritas kesehatan perlu memberikan perhatian khusus untuk mengusut tuntas masalah ini. Proses hukum yang tegas terhadap pelaku perundungan harus dijalankan untuk memberikan efek jera, serta untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman dan kondusif.
Selain penegakan hukum, pemerintah juga harus mempertimbangkan untuk mengambil langkah yang lebih progresif dalam mendukung pendidikan dokter spesialis. Mengingat kebutuhan yang tinggi akan dokter spesialis, subsidi atau pembiayaan penuh dari negara untuk pendidikan kedokteran bisa menjadi solusi yang baik.Â
Hal ini tidak hanya akan meringankan beban finansial para mahasiswa, tetapi juga mendorong lebih banyak dokter umum untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis. Pendidikan yang ditanggung oleh negara juga dapat menciptakan rasa tanggung jawab sosial yang lebih besar, di mana para dokter merasa terdorong untuk mengabdi kepada masyarakat, terutama di daerah-daerah yang kekurangan tenaga medis.
Penutup
Indonesia membutuhkan dokter yang tidak hanya kompeten secara medis, tetapi juga humanis dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Lingkungan pendidikan yang penuh dengan perundungan bertentangan dengan nilai-nilai tersebut dan justru menciptakan individu yang jauh dari esensi profesi kedokteran. Oleh karena itu, reformasi dalam sistem pendidikan kedokteran sangat diperlukan.
Institusi pendidikan harus mengambil langkah-langkah tegas untuk menghapus budaya perundungan dan memastikan bahwa para mahasiswa mendapatkan bimbingan yang layak, dalam suasana yang mendukung pengembangan keterampilan dan mental mereka. Selain itu, mekanisme pengaduan yang aman, transparan, dan rahasia harus disediakan untuk melindungi mahasiswa dari tekanan yang tidak wajar. Pendidikan kedokteran harus menjadi wadah untuk membentuk dokter yang berkompeten, empatik, dan berkomitmen pada kesejahteraan pasien, bukan lingkungan yang merusak mental mereka.
Dengan perhatian dan tindakan yang serius dari pemerintah, pengelola pendidikan, dan masyarakat, kita dapat menciptakan sistem pendidikan kedokteran yang lebih baik dan menghasilkan dokter-dokter yang mampu memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas, penuh empati, dan profesionalisme tinggi di seluruh Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H