Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Etika Profesi: Salah Tangkap, Cukupkah dengan Kata Maaf?

7 Juni 2024   18:35 Diperbarui: 7 Juni 2024   18:44 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Kasus salah tangkap kembali menghantui Indonesia, kali ini luka lama Vina Cirebon kembali menganga. Peristiwa tragis yang merenggut nyawa Vina di tahun 2016 ketika ia masih berusia 16 tahun, masih menyisakan pertanyaan dan rasa pilu bagi keluarga dan masyarakat.

Delapan tahun berlalu, kasus ini masih belum menemui titik terang. Luka lama Vina dan keluarganya belum terobati, dan bayang-bayang ketidakadilan terus menghantui mereka. Kasus ini kembali memanas setelah diangkat ke layar lebar dan mendapatkan perhatian publik yang lebih luas.

Para tersangka yang tidak bersalah harus menanggung stigma dan trauma akibat tuduhan yang tidak benar. Kehidupan mereka tercoreng, dan mereka harus berjuang untuk membersihkan nama baik mereka.

Diangkatnya kasus Vina Cirebon ke layar lebar menjadi sebuah langkah penting untuk membuka kembali luka lama dan memicu perhatian publik. Film ini memberikan gambaran tentang apa yang dialami Vina dan keluarganya, dan bagaimana sistem peradilan yang cacat dapat menghancurkan hidup seseorang.

  • Salah tangkap terjadi ketika seseorang ditangkap dan ditahan atas tuduhan melakukan kejahatan yang sebenarnya tidak dilakukannya. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti:
  • Kesalahan dalam mengidentifikasi pelaku kejahatan, baik melalui foto, ciri-ciri fisik, atau informasi yang tidak akurat.
  • Informasi yang salah atau menyesatkan yang diterima oleh pihak kepolisian, sehingga mereka meyakini bahwa orang yang ditangkap adalah pelaku kejahatan yang sebenarnya.
  • Tekanan untuk menyelesaikan kasus dengan cepat dapat mendorong pihak kepolisian untuk melakukan penangkapan tanpa bukti yang kuat dan memadai.


Dampak Salah Tangkap

Salah tangkap dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, baik bagi korban maupun bagi masyarakat secara luas. Berikut beberapa dampaknya seperti Korban salah tangkap dapat kmengalami kerugian materi, seperti biaya pengacara dan hilangnya pendapatan selama masa penahanan.

Mereka juga dapat mengalami trauma psikologis akibat stigma dan diskriminasi yang dihadapi.

Peristiwa salah tangkap dapat merusak citra dan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Masyarakat akan merasa ragu terhadap kinerja dan profesionalisme kepolisian.

Salah tangkap dapat menghambat proses peradilan yang adil dan transparan. Orang yang sebenarnya bersalah mungkin tidak tertangkap dan diadili, sementara orang yang tidak bersalah harus menanggung konsekuensi hukum.

Pencegahan Salah Tangkap

Untuk mencegah terjadinya salah tangkap, perlu dilakukan berbagai upaya, antara lain:

  • Memberikan pelatihan yang lebih komprehensif kepada anggota kepolisian tentang prosedur penangkapan, pengumpulan bukti, dan interogasi.
  • Meningkatkan sistem investigasi dengan menggunakan teknologi yang canggih dan menerapkan metode investigasi yang lebih ilmiah.
  • Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas institusi kepolisian dengan melibatkan masyarakat sipil dalam proses pengawasan dan kontrol.
  • Menerapkan kode etik yang tegas dan sanksi yang jelas bagi anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran, termasuk pelanggaran terkait salah tangkap.

Berbagai Kasus Salah Tangkap

Salah tangkap, sebuah frasa yang membawa luka mendalam bagi korbannya. Di balik jeruji besi, terenggut hak dan kebebasan, mereka menanggung konsekuensi atas kejahatan yang tidak mereka lakukan. Kasus-kasus ini tak hanya terjadi di satu negara, tapi tersebar di berbagai benua, meninggalkan trauma dan pertanyaan tentang keadilan.

Colin Campbell Ross dituduh membunuh Alma Tirtschke pada akhir 1921 di Melbourne, Australia. Meskipun buktinya lemah, Ross dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi pada 24 April 1922 dengan metode baru, yakni tali gantungan beruntai empat. Setelah eksekusi, usaha untuk membersihkan namanya terus dilakukan. Pada 1990-an, bukti kunci diperiksa ulang dengan teknik forensik modern. 

Pada 1995, peneliti Kevin Morgan menggunakan teknologi terkini untuk memeriksa rambut korban. Tes pada 1998 oleh Institut Kedokteran Forensik Victoria mengungkapkan bahwa rambut tersebut bukan milik Alma Tirtschke. Permohonan pengampunan diajukan pada 2006, dan pada 27 Mei 2008, Gubernur Victoria mengampuni Ross, menjadikannya kasus pertama hukuman salah dalam sejarah Australia.

Cameron Todd Willingham dieksekusi pada 16 Februari 2004 di Texas atas tuduhan membunuh tiga putrinya dengan membakar rumah mereka. Ilmu forensik saat itu menganggap kebakaran disengaja menggunakan akselerator cairan. Namun, laporan investigatif oleh David Grann lima tahun kemudian mengungkapkan bahwa bukti tersebut tidak cukup. Pada 23 Juli 2010, Komisi Ilmu Forensik Texas menyatakan bahwa penyelidik menggunakan "ilmu yang cacat" dalam kasus ini.

Carlos DeLuna dieksekusi di Texas pada 1989 karena diduga membunuh Wanda Lopez. DeLuna ditangkap karena memiliki kemiripan fisik dengan pelaku sebenarnya, Carlos Hernandez. Investigasi oleh profesor hukum Columbia, James Liebman, dan mahasiswanya mengungkap bahwa DeLuna dihukum berdasarkan kesaksian satu orang saja, sementara bukti lain menunjukkan dia tidak bersalah. Hernandez kemudian mengaku sebagai pelaku sebelum meninggal di penjara.

Timothy Evans digantung pada 9 Maret 1950 di London atas tuduhan membunuh istri dan putrinya. Awalnya, Evans mengakui tuduhan ini setelah diberitahu oleh tetangganya, John Christie, bahwa istrinya meninggal akibat aborsi gagal. Pada 1953, polisi menemukan bukti bahwa Christie adalah pembunuh berantai dan telah membunuh Beryl dan Geraldine. Christie dieksekusi pada 15 Juli 1953. Pada Januari 2003, kerabat Evans menerima kompensasi atas kegagalan keadilan dalam kasusnya.

Kompensasi untuk Korban Salah Tangkap

Di berbagai negara, terdapat peraturan yang mengatur tentang kompensasi bagi korban salah tangkap. Bagaimana dengan Indonesia, cukupkah dengan mengucapkan kata maaf, Bagaiman dengan penderitaan dan hilangnya waktu mereka?

Bentuk Kompensasi ini dapat saja berupa uang, rehabilitasi, atau bentuk lainnya. 

Berikut beberapa contohnya:

Undang-Undang Ganti Rugi Orang Tak Bersalah (Innocence Protection Act) memberikan kompensasi kepada korban salah tangkap yang dibebaskan setelah menghabiskan waktu di penjara. Besaran kompensasi bervariasi tergantung pada negara bagian.

Canada, Undang-Undang Ganti Rugi Orang Tak Bersalah (Wrongful Convictions Act) memberikan kompensasi kepada korban salah tangkap yang dibebaskan setelah menghabiskan waktu di penjara. Besaran kompensasi bervariasi tergantung pada kasusnya.

Skema Ganti Rugi Orang Tak Bersalah (Criminal Injuries Compensation Scheme) memberikan kompensasi kepada korban kejahatan, termasuk korban salah tangkap. Besaran kompensasi bervariasi tergantung pada kasusnya.

Penutup

Kasus salah tangkap merupakan tragedi yang dapat merenggut kehidupan dan kebebasan seseorang. Penting bagi penegak hukum untuk melakukan investigasi yang cermat dan teliti sebelum melakukan penangkapan. Masyarakat juga perlu berperan aktif dalam mengawasi kinerja penegak hukum dan melaporkan setiap dugaan pelanggaran.

Salah tangkap merupakan pelanggaran etika profesi yang serius dan harus ditindak tegas. Penting bagi institusi kepolisian untuk melakukan upaya pencegahan dan pembinaan internal agar peristiwa ini tidak terulang kembali. Masyarakat juga perlu berperan aktif dalam mengawasi kinerja kepolisian dan melaporkan setiap dugaan pelanggaran yang terjadi.

Kasus Vina Cirebon adalah contoh nyata bagaimana sistem peradilan yang cacat dapat menghancurkan hidup seseorang. Luka lama yang masih menganga ini menjadi pengingat bagi semua pihak untuk terus memperjuangkan keadilan dan mencegah tragedi serupa terulang kembali.

Kasus-kasus salah tangkap di berbagai negara menjadi pengingat bahwa sistem peradilan tak luput dari kesalahan. Pentingnya reformasi sistem peradilan, peningkatan kualitas investigasi, dan penegakan kode etik profesi menjadi kunci untuk mencegah tragedi ini terulang kembali. Korban salah tangkap berhak mendapatkan keadilan dan kompensasi atas penderitaan yang mereka alami.

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun