Contohnya, dalam kasus permohonan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, beberapa organisasi masyarakat sipil mengajukan amicus curiae untuk mendukung hak kebebasan berekspresi. Amicus curiae ini memberikan informasi dan perspektif penting kepada Mahkamah Konstitusi, yang pada akhirnya memutuskan untuk membatalkan beberapa pasal dalam undang-undang tersebut.
Prospek amicus curiae di Indonesia
Meskipun tidak ada aturan eksplisit dalam undang-undang Indonesia yang secara khusus mengatur amicus curiae, praktik ini telah ada dan diakui dalam sistem peradilan Indonesia selama beberapa dekade. Berikut beberapa catatan sejarah tentang amicus curiae di Indonesia:Â
Era Kolonial Belanda:
1930-an: Amicus curiae pertama kali muncul dalam kasus-kasus di Mahkamah Agung Hindia Belanda, dengan fokus pada isu-isu hukum adat dan agama.
1940-an: Amicus curiae digunakan dalam kasus-kasus yang melibatkan hak asasi manusia dan kemerdekaan nasional.
Era Kemerdekaan:
1950-an: Amicus curiae terus digunakan dalam berbagai jenis kasus, termasuk kasus-kasus politik dan ekonomi.
1960-an: Peran amicus curiae dibatasi di bawah rezim Orde Baru yang otoriter.
Era Reformasi:
1998: Setelah jatuhnya Orde Baru, amicus curiae kembali muncul sebagai alat untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia.
2000-an: Amicus curiae digunakan dalam kasus-kasus penting seperti uji materi undang-undang dan gugatan konstitusi.
Kasus-kasus Penting.
2009: Amicus curiae digunakan dalam kasus Prita Mulyasari vs. Negara, di mana seorang mahasiswi dibebaskan dari tuduhan pencemaran nama baik setelah dia mengkritik bank di media sosial.
2013: Amicus curiae digunakan dalam kasus gugatan konstitusi terkait Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana Mahkamah Konstitusi memperkuat kewenangan KPK.
Amicus curiae memiliki prospek yang cerah untuk menjadi alat yang lebih penting dalam memperkuat peradilan di Indonesia. Beberapa faktor yang mendukung hal ini adalah meningkatnya kesadaran hukum di masyarakat yang mendorong partisipasi publik dalam proses peradilan, peningkatan kompleksitas kasus hukum yang membutuhkan informasi dan perspektif dari berbagai pihak dan komitmen Mahkamah Konstitusi untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas peradilan.