Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Empati Dalam Bencana: Kisah Amran di Ranah Minang

7 April 2024   18:40 Diperbarui: 7 April 2024   18:41 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Amran duduk di ruang tengah rumahnya di Nagari Ampuah, Ranah Minang. Dia merenungkan kejadian tragis yang baru saja terjadi di sekitar Gunung Marapi. Meskipun dia tidak terdampak langsung oleh banjir lahar dingin, dampaknya terasa di seluruh wilayah. Rumahnya yang terletak agak jauh dari kaki gunung itu masih aman, tetapi kisah sedih warga sekitar membuatnya terpukul.

Tengah hari sudah hampir tiba, dan Amran merasa perlu bergerak. Dia menatap jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas. Pikirannya melayang pada rencana dagangannya hari ini. Dia telah bersiap sejak pagi, menyiapkan dagangan yang akan dijualnya di pasar tradisional. Namun, dengan semua kejadian yang terjadi belakangan ini, dia merasa ragu.

"Apakah aku harus tetap melanjutkan dagangan hari ini?" gumam Amran sendiri.

Namun, di tengah pertimbangan itu, suara gemuruh mendekat dari luar. Amran melangkah ke teras rumahnya dan melihat langit yang gelap. Mendung hitam menutupi langit, dan petir menyambar di kejauhan. Dia merasa hujan deras akan segera turun.

"Ah, ini pasti akan hujan lebat dan tidak baik bagi daganganku," desah Amran.

Dia pertimbangkan bahwa ada yang lebih penting dari sekadar dagangan. Warga sekitar masih berjuang untuk membersihkan rumah mereka dari lumpur dan puing-puing, sementara Amran berpikir untuk melanjutkan berjualan. Dia merasa malu dengan dirinya sendiri.

Amran kembali ke dalam rumah dan memutuskan untuk menunda dagangannya hari ini. Dia tahu bahwa banyak yang masih membutuhkan bantuan, dan dia tidak bisa tinggal diam. Dengan cepat, dia mengambil mantel hujan dan payungnya, serta beberapa barang makanan dan minuman yang bisa dia bagikan kepada mereka yang membutuhkan.

"Uda, kamu mau pergi?" tanya istrinya, Nita, yang mengamati gerak-gerik suaminya.

Amran mengangguk. "Iya, Nita. Aku pikir aku harus membantu mereka di luar. Masih banyak yang membutuhkan pertolongan."

Nita tersenyum bangga. "Baiklah, tapi jangan sampai kau terlalu lama di luar. Aku khawatir tentang keadaanmu."

Amran menggenggam tangan istrinya. "Jangan khawatir, Nita. Aku akan berhati-hati. Ini adalah saatnya bagi kami untuk saling membantu."

Dengan itu, Amran keluar dari rumahnya dan melangkah ke arah pasar. Dia melihat bagaimana beberapa bangunan roboh dan tanah longsor memakan jalan. Meskipun hujan semakin deras, dia tidak tergoyahkan. Hatinya dipenuhi dengan tekad untuk membantu mereka yang membutuhkan.

Sesampainya di pasar, Amran langsung bergerak. Dia mendekati para pedagang yang sedang membersihkan sisa-sisa dagangan mereka yang hancur. Dengan senyum dan kata-kata semangat, dia membantu mereka mengangkat barang-barang yang berat dan membersihkan sisa-sisa lumpur.

"Terima kasih, Amran," kata salah satu pedagang. "Kamu selalu ada di saat-saat sulit seperti ini."

Amran hanya tersenyum. Baginya, membantu sesama adalah hal yang wajar dilakukan. Dia tahu betul bagaimana rasanya berjuang melawan bencana alam, dan dia tidak akan pernah menutup mata terhadap penderitaan orang lain.

Ketika hujan semakin reda, Amran merasa senang dengan apa yang telah dia lakukan. Meskipun dagangannya tertunda, dia tahu bahwa dia telah melakukan sesuatu yang jauh lebih berarti. Dia telah memberikan harapan dan kekuatan kepada mereka yang membutuhkan, dan itu adalah hadiah terbesar baginya.

Setelah beberapa waktu, Amran kembali ke rumahnya. Dia melangkah dengan langkah ringan, meskipun tubuhnya terasa lelah. Hatinya penuh dengan rasa syukur dan kebahagiaan, karena dia tahu bahwa dia telah melakukan yang terbaik untuk membantu sesama.

Ketika dia tiba di rumah, Nita sudah menunggunya dengan senyum di wajahnya. Dia langsung memeluk suaminya dengan erat.

"Kamu luar biasa, Uda," katanya dengan penuh kagum. "Aku bangga padamu."

Amran hanya tersenyum dan mencium kening istrinya. "Ini adalah apa yang harus kita lakukan, Nita. Kita harus selalu siap membantu mereka yang membutuhkan, terutama di saat-saat sulit seperti ini."

Dalam pelukan satu sama lain, Amran dan Nita merasakan kehangatan dan cinta yang mengalir di antara mereka. Meskipun mereka mungkin tidak memiliki banyak harta, tetapi mereka memiliki satu sama lain, dan itu sudah lebih dari cukup baginya.

Dari situlah, kisah Amran dan perjuangannya dalam menghadapi bencana lahar dingin Gunung Marapi menjadi inspirasi bagi banyak orang. Meskipun terjadi tragedi besar, tetapi semangat gotong royong dan kepedulian antar sesama tetap membawa harapan dan kekuatan di tengah kesulitan. Dan Amran, dengan tindakan sederhananya, telah membuktikan bahwa kebaikan selalu ada di hati manusia, bahkan di saat-saat paling gelap sekalipun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun