Ajo, si Mas dan Pak Payo berdiri di tengah keramaian, melihat ke sekeliling dengan rasa syukur yang mendalam.
Di akhir festival, sebuah patung beruk diresmikan, sebagai penghormatan kepada Kelap, beruk yang telah menginspirasi begitu banyak perubahan positif.
Patung itu berdiri tegak, menghadap ke arah matahari terbenam, seolah-olah Kelap masih menatap ke masa depan yang cerah bagi nagari mereka.
*****
Di nagari yang kini dipenuhi tawa dan keceriaan, Ajo dan si Mas melihat ke depan dengan penuh harapan. Pusat pelatihan beruk mereka telah menjadi lebih dari sekadar tempat belajar; itu adalah simbol persatuan, tempat di mana setiap suara dan tawa membentuk melodi kebersamaan.
Pak Payo, yang hatinya perlahan sembuh, menemukan kebahagiaan baru dalam mengajar beruk-beruk muda. Ia mengajarkan mereka bukan hanya cara memanjat dan memetik kelapa, tetapi juga nilai-nilai kehidupan, seperti kerja sama dan kesabaran.
Suatu hari, sebuah surat tiba di desa itu, berasal dari sebuah organisasi konservasi yang terkesan dengan upaya mereka. Organisasi itu mengundang Ajo, si Mas, dan Pak Payo untuk berbagi kisah sukses mereka di konferensi internasional.
Mereka bertiga, yang dulunya terpisah oleh kesalahpahaman, kini bersatu dalam misi yang sama.
Di konferensi itu, mereka berbicara tentang bagaimana komunikasi dan empati dapat mengubah dunia. Mereka menceritakan tentang Kelap, beruk yang menjadi inspirasi bagi banyak orang, dan bagaimana tragedi dapat berubah menjadi kisah inspiratif.
Kembali ke nagari, mereka disambut sebagai pahlawan. Anak-anak nagari menghampiri dengan mata berbinar, mendengarkan setiap kata yang mereka ucapkan.
Ajo, si Mas, dan Pak Payo menyadari bahwa usaha tulus mereka telah  memberikan sesuatu yang akan bertahan lama setelah mereka pergi, warisan yang akan terus menginspirasi generasi mendatang.