Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menjadi Oposisi: Sebuah Analisis Historis dan Pragmatis

5 Maret 2024   05:00 Diperbarui: 5 Maret 2024   05:03 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.prakata.com/2024/03/pdip-pks-oposisi-potensial-yang-sulit-bersinergi.html

Pengantar 

Setelah pemilu 2024, peta politik Indonesia menghadapi pertanyaan krusial: siapakah yang akan bertahan menjadi oposisi dan partai manakah yang akan bergabung dengan pemerintah? Kemenangan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dengan perolehan suara 58,83% menandai awal dari sebuah era baru dalam politik Indonesia.

Sejarah sebagai Guru Politik

PDI-P, dengan sejarah panjang sebagai oposisi, tampaknya akan kembali ke akar tersebut. Pengalaman mereka selama pemerintahan SBY dan di era Orde Baru memberikan fondasi yang kuat untuk berperan sebagai penyeimbang pemerintah. PPP, meskipun memiliki sejarah sebagai oposisi, cenderung lebih sering berada dalam pemerintahan dalam beberapa dekade terakhir.

Peran PKS dalam Peta Politik Indonesia

PKS, yang telah berada di luar pemerintahan selama dua periode kepresidenan Jokowi, menunjukkan peningkatan signifikan dalam perolehan suara. Dalam pemilu legislatif 2024, PKS memimpin perolehan suara di DKI Jakarta dengan 19,26%, menunjukkan dukungan yang kuat dari basis pemilihnya. Ini menandai peningkatan dari pemilu sebelumnya di tahun 2019, di mana PKS meraih 8,21% dari total suara sah nasional. Kenaikan ini menunjukkan bahwa PKS telah berhasil mempertahankan dan bahkan memperluas pengaruhnya sebagai partai oposisi.

Sejarah Oposisi PKS dan Perolehan Suara dari Pemilu ke Pemilu

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah menjadi salah satu partai politik yang konsisten dalam peran sebagai oposisi di Indonesia. Berakar dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Timur Tengah, PKS didirikan pada tahun 1998 dengan nama awal Partai Keadilan (PK). Sejak awal, PKS telah menunjukkan komitmen untuk menjadi suara alternatif dan pengawas pemerintahan yang berkuasa.

PKS memulai debutnya di Pemilu 1999 dengan meraih 1,43 juta suara atau 1,36% dari total suara sah nasional. Meskipun perolehan suara ini tergolong kecil, PKS tetap berkomitmen pada prinsip-prinsipnya dan terus berupaya memperluas pengaruhnya di panggung politik nasional.

Dalam Pemilu 2004, PKS mencatatkan peningkatan signifikan dengan mendulang 8,33 juta suara (7,34%), sebuah lonjakan yang menandai PKS sebagai kekuatan politik yang tidak bisa diabaikan. Pemilu 2009 dan 2014 melihat PKS stabil dengan perolehan suara sekitar 7-8%, meskipun ada sedikit penurunan di tahun 2014 menjadi 6,77%.

Pencapaian tertinggi PKS terjadi dalam Pemilu 2019, dengan perolehan sebanyak 11,49 juta suara atau 8,21% dari total suara sah nasional. Kenaikan jumlah suara ini menunjukkan bahwa PKS berhasil mempertahankan dan bahkan memperluas pengaruhnya sebagai partai oposisi.

PKS di Pemilu 2024

Pemilu 2024 menjadi momen penting bagi PKS, di mana mereka berhasil memimpin perolehan suara di DKI Jakarta dengan 19,26%, mengungguli partai-partai besar lainnya seperti PDI-P. Ini menunjukkan bahwa PKS telah berhasil mempertahankan basis pemilihnya dan bahkan mungkin memperluasnya lebih lanjut.

Bagaimana dengan partai PKB, Nasdem dan PPP?

Partai-partai pendukung paslon 01 dan paslon 03 menghadapi dilema strategis: bergabung dengan pemerintahan atau tetap menjadi oposisi. Keputusan ini akan memiliki dampak jangka panjang, terutama menjelang pemilu 2029.

Partai yang bergabung dengan pemerintahan dapat memperoleh akses ke sumber daya dan pengaruh politik yang lebih besar. Namun, ini juga dapat mengurangi identitas mereka sebagai partai independen dan mempengaruhi persepsi pemilih terhadap integritas mereka. Dalam jangka panjang, ini bisa merugikan peluang mereka di pemilu 2029 jika pemerintahan saat itu tidak populer.

Sebaliknya partai yang memilih untuk menjadi oposisi memiliki kesempatan untuk membangun citra sebagai pengawas pemerintah dan pembela kepentingan rakyat. Ini dapat meningkatkan peluang mereka untuk mendapatkan suara di pemilu 2029, terutama jika mereka berhasil memposisikan diri sebagai alternatif yang kredibel terhadap pemerintahan saat itu.

Akankah PDIP Akan Menjadi Partai Kecil Jika Tetap Berada di Luar Pemerintahan?

Pemilu 2024 telah memberikan tantangan baru bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dengan penurunan perolehan suara lebih dari 3% dibandingkan pemilu sebelumnya, pertanyaan yang muncul adalah apakah PDIP akan menjadi partai kecil jika tetap berada di luar pemerintahan.

Analisis Perolehan Suara

PDIP masih memimpin jumlah perolehan suara berdasarkan hasil real count Pemilu 2024 dengan 16,90%. Namun, ini menunjukkan penurunan dari elektabilitas awal tahun 2024 yang berada di angka 20%. Penurunan ini cukup signifikan dan dapat menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan partai.

Beberapa faktor yang mungkin berkontribusi terhadap penurunan suara PDIP antara lain:

- Dinamika politik internal yang mungkin tidak sejalan dengan aspirasi pemilih.

- Kinerja partai selama periode sebelumnya yang mungkin tidak memenuhi harapan publik.

-Pergeseran basis pemilih ke partai lain yang mungkin lebih sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka saat ini.

Jika PDIP memilih untuk tetap berada di luar pemerintahan, mereka mungkin akan menghadapi tantangan dalam mempertahankan relevansi politik mereka. Tanpa akses ke sumber daya pemerintahan, PDIP mungkin akan kesulitan untuk memobilisasi dukungan dan mempertahankan visibilitas mereka di mata publik.

Peluang di Pemilu 2029

Menghadapi pemilu 2029, PDIP harus mempertimbangkan strategi mereka dengan cermat. Jika mereka dapat memposisikan diri sebagai oposisi yang efektif dan kredibel, mereka mungkin dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan perolehan suara mereka. Namun, jika mereka gagal untuk mengartikulasikan visi yang jelas dan menarik bagi pemilih, mereka mungkin akan melihat penurunan lebih lanjut dalam dukungan.

Dilema Jika PDIP Bergabung dengan Pemerintahan Prabowo-Gibran

Pemilu 2024, secara defacto telah menetapkan Prabowo Subianto sebagai Presiden Indonesia, dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakilnya. Di tengah peta politik yang baru ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berada di persimpangan jalan: apakah akan bergabung dengan pemerintahan atau tetap menjadi oposisi. Dilema ini diperumit oleh perseteruan yang dilaporkan antara Megawati Soekarnoputri dan Jokowi, terutama setelah penunjukan Gibran sebagai cawapres Prabowo.

PDIP, di bawah kepemimpinan Megawati, telah lama dikenal sebagai partai yang kuat dan independen. Namun, pemilu terakhir menunjukkan penurunan suara, yang mungkin mempengaruhi keputusan partai untuk bergabung dengan pemerintahan atau tidak. Analis politik Arifki Chaniago menilai bahwa PDIP masih memiliki peluang untuk bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran, terutama pasca-kongres PDIP di tahun 2025.

Hubungan antara Megawati dan Jokowi, yang telah lama dianggap sebagai mentor dan protege, tampaknya mengalami ketegangan setelah Gibran, putra Jokowi, diumumkan sebagai cawapres Prabowo. Meskipun Jokowi mengklaim bahwa hubungannya dengan Megawati tetap baik, dinamika ini tidak dapat diabaikan dalam analisis politik saat ini.

Dari perspektif strategis, PDIP mungkin melihat bergabung dengan pemerintahan sebagai kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan dan memastikan bahwa kepentingan mereka tetap terwakili. Namun, ini juga bisa berisiko mengurangi identitas mereka sebagai partai oposisi yang kuat.

Bisa jadi jika PDIP bergabung dengan pemerintahan maka dianggap sebagai bentuk kekalahan Megawati dari Jokowi. Imej ini akan melekat kepada para pendukung yang bisa jadi akan mengecamnya dan PDI-P akan semakin ditinggalkan

PDI-P dan PKS sulit menyatu

Ada pandangan yang menyatakan bahwa PKS dan PDI-P, meskipun keduanya mungkin berada dalam posisi oposisi, memiliki tantangan untuk menyatu karena perbedaan ideologi dan basis pemilih yang signifikan. PKS memiliki akar yang kuat dalam nilai-nilai Islam, sementara PDI-P lebih bersifat nasionalis dan sekuler. Perbedaan ini menciptakan dinamika politik yang kompleks dan sering kali mengakibatkan pendekatan yang berbeda terhadap isu-isu nasional.

Selain itu, sejarah politik kedua partai juga menunjukkan jalur yang berbeda dalam politik Indonesia. PDI-P, dengan latar belakang sebagai partai pendiri yang dipimpin oleh tokoh nasionalis, dan PKS, yang tumbuh dari gerakan dakwah dan reformasi, memiliki strategi dan tujuan politik yang berbeda.

Namun, dalam sistem demokrasi, kerjasama antarpartai dengan latar belakang yang berbeda tidaklah mustahil, terutama jika ada isu-isu tertentu yang menjadi kepentingan bersama. Dalam konteks tertentu, koalisi semacam ini dapat terbentuk untuk menghadapi kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan rakyat atau untuk memperkuat fungsi check and balance dalam pemerintahan. Namun, kerjasama ini biasanya bersifat situasional dan tidak menunjukkan penyatuan ideologi atau platform politik yang permanen.

https://rmol.id/images/berita/normal/2024/02/924045_10063022022024_hasto_aboe.jpg
https://rmol.id/images/berita/normal/2024/02/924045_10063022022024_hasto_aboe.jpg

Kesimpulan

Dalam sistem demokrasi yang sehat, oposisi yang efektif berperan dalam mengkritik, memberikan masukan, dan memastikan transparansi serta akuntabilitas pemerintah. Keputusan partai-partai politik untuk bergabung atau tidak dengan pemerintahan akan sangat mempengaruhi dinamika politik dan kualitas demokrasi di Indonesia. Dengan perolehan suara yang kuat di parlemen, PKS memiliki potensi untuk menjadi oposisi yang berpengaruh atau sekutu pemerintahan yang strategis, tergantung pada pilihan yang mereka ambil.

Sejarah PKS sebagai partai oposisi telah menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bertahan dan berkembang meskipun berada di luar pemerintahan. Dengan perolehan suara yang konsisten dari pemilu ke pemilu, PKS telah membuktikan diri sebagai partai yang dapat diandalkan untuk menjalankan fungsi check and balance terhadap pemerintah. Kiprah mereka di masa mendatang akan terus menjadi topik yang menarik untuk diikuti.

PDIP berada di tengah dilema politik yang kompleks. Keputusan mereka untuk bergabung dengan pemerintahan Prabowo atau tetap sebagai oposisi akan sangat dipengaruhi oleh dinamika internal partai dan hubungan antara tokoh-tokoh kunci PDIP dengan pemerintahan baru. Apapun pilihan yang diambil, ini akan menjadi momen kunci dalam sejarah politik Indonesia

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun