Sewaktu kuliah dulu, saya tidak pernah membayangkan akan menjadi seorang dosen. Dalam pandangan saya, seorang dosen adalah sosok yang ideal, memiliki kemampuan akademik tinggi. Namun, ketika melihat dosen-dosen yang ada saat itu, mereka tampak biasa-biasa saja dan jauh dari bayangan saya tentang dosen ideal. Saya merasa tidak mampu menjadi dosen seperti yang saya bayangkan.
Sebagai seorang penggemar cerita silat Kho Ping Hoo, saya membayangkan seorang dosen seharusnya seperti pendekar dalam cerita silat: berilmu tinggi, bijaksana, dan pandai mengayomi. Namun, kenyataannya, saya hanyalah seorang individu biasa dengan kemampuan akademik yang juga biasa. Pada saat itu, menjadi dosen adalah sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam benak saya.
*****
Menurut saya, yang paling ideal menjadi dosen adalah mereka yang memiliki pencapaian akademik tinggi. minimal IPK untuk jadi seorang dosen pada waktu itu adalah di atas tiga, lebih bagus lagi 3,5.
Sementara saya hanya mahasiswa jurusan Teknik Elektro dengan IPK di bawah 3, berat rasanya jadi dosen. Apalagi mengingat harus menyambung sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.
Melanjutkan kuliah ke jenjang S2 dan S3 juga tidak pernah saya bayangkan jika harus menjadi dosen. Sudah cukup stres ketika mengerjakan Tugas Akhir (TA), apalagi jika harus menghadapi tesis dan disertasi. Rasanya akan menjadi beban yang sangat berat.
*****
Setelah menyelesaikan kuliah di Jurusan Teknik Elektro Universitas Sriwijaya pada tahun 1996, saya merencanakan bahwa prioritas utama adalah untuk melamar pekerjaan atau membangun karier. Pilihan pertama saya adalah berwirausaha, bekerja di BUMN, atau mendirikan usaha setelah mengumpulkan modal. Dan sebagai pilihan terakhir, jika tidak ada opsi lain... ya, menjadi dosen saja. Meskipun itu berarti harus kembali ke bangku kuliah.
Nun jauh di kampung kecil saya yang bernama Batu hampar, ibu selalu berharap saya bekerja di kota Padang. Untuk memenuhi harapan tersebut saya juga berusaha mencari peluang di sana.
Selain itu, saya juga mengikuti tes seleksi peluang kerja di beberapa perusahaan BUMN, termasuk PTPN dan Caltex, namun hasilnya selalu jauh dari harapan.
****
Pada suatu kesempatan, ketika saya berada di Palembang sekitar bulan Agustus-September 1996, saya mengetahui ada lowongan dosen di Jurusan Teknik Elektro Universitas Andalas (Unand) di Padang melalui kertas pengumuman yang ada di jurusan.
Ibu juga memberi tahu saya dan saya mencoba mengirimkan lamaran. Namun, pikiran saya berkata, "Kalau jadi dosen, pasti harus kuliah lagi... rasanya pusing." Namun, takdir berkata lain, dan akhirnya saya memulai perjalanan sebagai seorang dosen.
*****
Tak disangka, segala hal berjalan dengan mulus menuju peran sebagai seorang dosen. Semua tahapan administrasi dan wawancara dilewati tanpa hambatan. Perjalanan menjadi seorang dosen bagaikan jalan yang dilapisi karpet permadani merah. Dipersilahkan.
Sesegeranya setelah kelulusan, saya langsung dipanggil berdinas pada akhir bulan Desember tahun 1996. Selanjutnya bulan Februari 1997 SK CPNS keluar dan saya resmi sebagai aparatur negara, jadi dosen.
*****
Pada tahun 1998, bulan Februari, saya menikah. Kemudian, 2 bulan setelahnya, saya pergi ke Bali untuk mengikuti kursus bahasa Inggris di IALF selama hampir 6 bulan dan berhasil mendapatkan skor IELTS 6.5. Angka yang cukup agar saya bisa diterima salah satu perguruan tinggi bergengsi di bidang teknologi di UK, UMIST ketika itu, dan sekarang sudah digabungkan dengan Manchester university menjadi perguruan tinggi yang lebih besar yaitu University of Manchester.
Bagi saya, pergi ke Bali dengan istri mengikuti kursus bahasa Inggris bagaikan hadiah bulan madu pertama, dan kemudian melanjutkan ke Manchester untuk mengikuti program Magister sebagai bulan madu kedua.
Memang, jika menempuh perjalanan jauh seperti itu memakai uang sendiri tidak akan sanggup , sebuah perjalanan yang hampir mustahil. Ratusan juta hingga milyaran rupiah akan dihabiskan untuk kegiatan yang hanya berlangsung beberapa bulan di Bali dan dilanjutkan di Manchester.
Angka rupiah yang diberikan kepada saya untuk kursus di Bali dan kuliah di Manchester tentu jauh lebih besar jika dibandingkan dengan uang yang akan dikumpulkan oleh kawan-kawan yang berkarir di dunia industri dan BUMN dalam rentang waktu 3 tahun tersebut.
Di sinilah saya mulai menyadari berkah dari keputusan menjadi dosen. Karir yang tidak dilirik oleh mayoritas alumni teknik elektro ketika itu, sudah gajinya kecil, pusing lagi dengan tesis dan disertasi. Bahkan saya sendiri tidak ada niat menjadi seorang dosen. Begitu takdir jika sudah diberikan sang Pencipta, terimalah dengan lapang dada. Saya menyadari bahwa Allah telah melapangkan jalan hidup saya ke sana.
*****
Saya berangkat ke Inggris pada bulan September tahun 1998. Tujuan saya adalah UMIST, Manchester, untuk mengikuti program Magister. Sebuah universitas bergengsi di bidang teknologi di Inggris Raya atau UK. Layaknya seperti ITB di Indonesia.
Untuk pertama kalinya saya masuk ke labor tegangan tinggi yang bisa menghasilkan tegangan 2 juta volt dan juga melihat bagaimana pengujian peluang sebagian pada sebuah trafo. Pengalaman yang begitu berbekas sampai sekarang.
Dua puluh hulan kemudian, Mei 2000, saya kembali ke Padang dengan hanya membawa sertifikat Post Graduate Diploma (PGDip), level lebih rendah dari Magister.
Meskipun Raihan program Magister tidak berjalan sesuai rencana, setidaknya saya telah mencoba dan belajar banyak hal selama perjalanan ini.
Yang paling berharga tentu pelajaran hebat tentang hidup. Apakah saya akan terus bertahan menjadi dosen yang diberkahi ibu atau mencari pekerjaan lain. Memang berat rasanya pulang tanpa membawa gelar S2. Tapi begitulah hidup, harus dijalani dengan tabah dan sabar walaupun berat.
****
Kisah ini mengingatkan kita bahwa hidup penuh dengan tantangan dan peluang. Teruslah menjalani perjalanan ini dengan semangat dan ketabahan!
*****
Tidak terbayangkan kalau menempuh perjalanan jauh seperti itu memakai uang sendiri. Entah kapan akan terwujud. Ratusan juta hingga milyaran rupiah akan dihabiskan untuk kegiatan yang hanya beberapa bulan di Bali dan dilanjutkan di Manchester. Angka ini tentu jauh lebih besar dibandingkan dengan yang akan diperoleh oleh kawan-kawan yang berkarir di dunia industri dan BUMN. Namun, saya menyadari bahwa Allah telah melapangkan jalan hidupku.
Semua ini mengajarkan saya tentang tekad, ketabahan, dan arti sebenarnya dari perjalanan hidup. Terkadang, apa yang tampak sebagai pengorbanan besar sebenarnya adalah investasi dalam diri kita sendiri. Pengalaman di Bali dan Manchester mungkin telah membentuk saya menjadi pribadi yang lebih bijaksana, berpengetahuan luas, dan siap menghadapi tantangan.
*****
Ingatlah bahwa setiap langkah yang kita ambil membawa kita lebih dekat pada tujuan kita, meskipun jalannya tidak selalu lurus dan mudah. Semoga perjalanan ini terus memberikan berkah dan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
*****
Enam tahun kemudian saya melanjutkan kuliah ke Malaysia. Saya mengulang kembali program S2 di UTM Johor bahru pada awal tahun 2007. Tahun 2010 melanjutkan program S3 dan selesai pada tahun 2016. Ini adalah episode yang paling apik dalam hidup saya. Kuliah dengan biaya sendiri dan juga harus menghidupi satu orang istri dan tiga orang anak. Nantikan cerita selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H