Di lorong sunyi di malam yang kelam,
Terkabulkah mimpi yang hampa?
Di sudut hati manusia yang terdalam,
Tersembunyikah rasa kegelapan?
Mungkinkah di antara kita terselip,
Oknum yang bermain dengan tipu daya?
Dalam permainan politik yang kian runcing,
Hatinya tergelap, nurani pun teduh.
Manusia, makhluk berfikir dan cipta,
Namun, seringkali terbuai oleh cita.
Afiliasi dan dukungan terhadap paslon,
Menjadi tumpuan, alasan, dan tujuan.
Di saat terhimpit oleh nafsu yang membara,
Mereka lupa akan etika dan budi,
Menyeret diri ke jurang yang kelam,
Dalam obsesi memenangkan yang didambakan.
“Ndas mu etik,” teriak hati yang terdiam,
Namun, tak didengar oleh yang terpedaya.
Peduli apa mereka pada etika,
Bila tujuan politik yang mereka junjung tinggi.
Namun, dalam kegelapan itu masih ada cahaya,
Yang memancar dari hati yang bersih dan suci.
Mereka yang teguh memegang prinsip dan etika,
Menjadi mercusuar dalam lautan politik yang keruh.
Mari kita renungkan, di dalam hati yang terdalam,
Apakah kekuasaan sebanding dengan kehilangan etika?
Di tengah arus politik yang ganas dan liar,
Tetaplah kokoh pada jalan yang benar.
Karena di sela-sela pertarungan dan persaingan,
Kebaikan dan kejujuran tetap menjadi harapan.
Biarkan puisi ini menjadi cermin diri,
Untuk merajut etika dalam jaringan politik yang diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H