Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Prabowo Presiden versi Quick Count

15 Februari 2024   11:32 Diperbarui: 15 Februari 2024   13:54 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: viva.co.id

Pengantar 

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 menjadi sorotan publik, terutama dalam hal perolehan suara pasangan calon presiden dan wakil presiden. Mari kita telaah perpindahan suara partai pendukung pasangan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka (Paslon 02) dari Pemilu 2019 ke Pemilu 2024.

Sebagai titik awal, perlu dicatat bahwa Pilpres 2019 telah menyuguhkan pertarungan yang ketat antara dua pasangan calon yang kini kembali bersaing. Pasangan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno (Paslon 02) dan pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin (Paslon 01) memperebutkan kursi kekuasaan tertinggi di Indonesia. Saat itu, perbedaan visi, misi, dan narasi politik kedua kubu menciptakan polarisasi yang kuat di tengah masyarakat.

Pada Pilpres 2019, pasangan Prabowo - Sandiaga berhasil memperoleh dukungan yang signifikan dari sejumlah partai politik, termasuk partai-partai besar yang mendukung koalisi oposisi. Namun, meskipun meraih dukungan yang kuat dari sebagian besar partai politik di koalisi oposisi, pasangan tersebut kalah dalam kontestasi suara.

Sekarang, memasuki Pilpres 2024, situasinya tampak berbeda. Pasangan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka (Paslon 02) kembali berlaga dengan harapan meraih kemenangan. Salah satu aspek yang menarik untuk ditelusuri adalah perpindahan suara partai politik yang sebelumnya mendukung Prabowo - Sandiaga pada Pilpres 2019.

Ada beberapa faktor yang mungkin memengaruhi perpindahan suara tersebut. Pertama, adanya perubahan dalam dinamika politik nasional dan lokal. Setelah Pilpres 2019, terjadi dinamika politik yang signifikan, termasuk perubahan dalam konfigurasi kekuatan politik, restrukturisasi partai politik, dan pergeseran kepentingan politik di berbagai daerah.

Kedua, kinerja dan kebijakan pemerintah dalam kurun waktu antara Pilpres 2019 dan 2024 juga memainkan peran penting. Bagi sebagian pemilih, penilaian terhadap kinerja pemerintah selama masa jabatan sebelumnya menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan mereka di Pilpres berikutnya.

Ketiga, faktor personalitas dan karakteristik calon juga dapat memengaruhi perpindahan suara. Dalam Pilpres 2024, pasangan Prabowo - Gibran menawarkan narasi politik yang berbeda dari pasangan lawannya. Dengan kombinasi pengalaman politik dan popularitas di tingkat lokal, pasangan ini mungkin berhasil menarik perhatian sejumlah pemilih yang sebelumnya tidak mendukung Prabowo - Sandiaga.

Namun, demikian, perpindahan suara tidak selalu terjadi secara linier atau pasti. Banyak faktor lain, seperti isu-isu politik terkini, kampanye media, dan dinamika sosial, juga dapat memengaruhi keputusan pemilih. Oleh karena itu, penting untuk melakukan analisis yang komprehensif dan mendalam untuk memahami dinamika perpindahan suara dari satu Pilpres ke Pilpres berikutnya.

Dalam konteks ini, penelitian dan studi yang mendalam tentang pola perpindahan suara partai politik menjadi sangat penting. Ini membantu pemangku kepentingan politik dan analis untuk memahami tren dan dinamika politik yang mendasari perubahan dalam lanskap politik Indonesia.

Hasil Quick Count

Berdasarkan hasil quick count yang dilakukan oleh Lembaga survei Poltracking Indonesia, pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka, dinyatakan sebagai pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Kemenangan mereka meluas hampir di seluruh penjuru nusantara, menandai dominasi yang kuat dalam peta politik Indonesia. Data yang diungkapkan dari 10 daerah menunjukkan mayoritas mendukung pasangan tersebut, seperti di Sumatera dengan angka 55,9%, Jawa Barat dengan 57,7%, dan provinsi-provinsi lainnya dengan angka yang tak jauh berbeda.

Namun demikian, keberhasilan Prabowo - Gibran tak bisa dianggap mutlak, terutama dengan catatan kekalahan tipis di wilayah DKI Jakarta, tempat di mana rivalnya, pasangan Anies - Muhaimin, berhasil mengungguli. Meskipun demikian, keunggulan pasangan nomor urut 02 terlihat mengesankan dalam berbagai kelompok usia. Dari Generasi Z hingga Silent Generation, mayoritas memilih pasangan ini sebagai pemimpin masa depan.

Data yang dihasilkan dari quick count ini menarik perhatian karena melibatkan sampel yang representatif, dengan 12.000 responden dari 3.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia. Dalam pantauan yang ketat, pada pukul 19.58 WIB, tergambar bahwa perolehan suara Prabowo-Gibran mencapai 59,31%. Angka tersebut menempatkan mereka jauh di depan pesaing terdekat, Anies-Muhaimin, yang meraih 24,3%, dan Ganjar-Mahfud dengan 16,37%.

Sumber gambar: viva.co.id
Sumber gambar: viva.co.id

Keberhasilan pasangan ini bukanlah semata-mata hasil kebetulan. Berbagai faktor dapat menjadi penentu, termasuk program-program yang diusung, ketokohan Prabowo sebagai tokoh politik veteran, serta popularitas yang dimiliki Gibran sebagai tokoh muda yang energik. Kemenangan mereka memberikan sinyal kuat akan arah politik yang diinginkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Namun, perlu diingat bahwa hasil quick count belum tentu mencerminkan hasil resmi yang akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Perhitungan resmi dan pengumuman hasil oleh KPU merupakan langkah akhir dalam proses demokrasi yang sesungguhnya. Karenanya, masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan bersabar menanti hasil resmi dari KPU.

Pentingnya Suara Pulau Jawa

Dengan mempertimbangkan signifikansi suara di Pulau Jawa dalam menentukan hasil Pilpres 2024, dapat disimpulkan bahwa wilayah ini memegang peranan yang krusial dalam arah politik nasional. Dengan mayoritas suara pemilih berada di Jawa, keputusan dan preferensi pemilih di sini memiliki dampak besar terhadap hasil akhir pemilihan presiden.

Namun demikian, kebijakan bijak adalah untuk tidak tergesa-gesa dalam menarik kesimpulan sepenuhnya berdasarkan dominasi suara di Jawa. Meskipun penting, perlu dipahami bahwa keunggulan pasangan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka tidak begitu menonjol bila dibandingkan dengan rival-rivalnya, yakni pasangan Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar dan pasangan Ganjar Pranowo - Mahfud MD. Data terkait perolehan suara di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang preferensi pemilih di berbagai wilayah:

Di TPS Denanyar, Jombang, pasangan Prabowo-Gibran memimpin dengan 124 suara, diikuti oleh pasangan Anies-Muhaimin dengan 87 suara, dan pasangan Ganjar-Mahfud dengan 37 suara.

Di Kawal Pemilu, data awal menunjukkan pasangan Prabowo-Gibran dengan 52,27% suara, diikuti oleh pasangan Anies-Muhaimin dengan 31,32%.

Di TPS Jokowi, pasangan Prabowo-Gibran juga mendominasi dengan 37 suara, sementara pasangan Anies-Muhaimin mendapat 29 suara, dan pasangan Ganjar-Mahfud dengan 20 suara.

Dari data ini, terlihat bahwa meskipun pasangan Prabowo-Gibran memimpin di beberapa wilayah, keunggulan mereka tidaklah mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan politik masih berlangsung ketat, dan belum bisa dipastikan hasil akhirnya. Dengan begitu, wajar jika tim kampanye dari setiap pasangan terus bekerja keras untuk mendapatkan dukungan yang lebih luas dan mengoptimalkan potensi suara di seluruh wilayah Indonesia. Keputusan akhir akan bergantung pada masyarakat, yang memiliki hak dan tanggung jawab untuk memilih pemimpin yang dianggap paling sesuai dengan visi dan kepentingan mereka.

Pengamatan jam 09:06 WIB 15 -2-2024 dari Kawal Pemilu

Pada pukul 09:06 pagi hari ini, hasil quick count dari Kawal Pemilu menimbulkan sorotan tajam di ranah politik nasional. Angka-angka yang dipaparkan menunjukkan tren yang menarik, di mana pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, mengungguli pesaing-pesaingnya dengan perolehan suara sebesar 52,27%. Tidak dapat dipungkiri, angka tersebut memperlihatkan keunggulan yang signifikan, menempatkan mereka sebagai pemimpin sementara dalam kontes politik yang sengit ini.

Namun, sorotan terhadap hasil quick count ini menjadi semakin intens mengingat adanya perbedaan yang mencolok dengan data resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada jam yang sama. Di sini, terungkap bahwa angka resmi KPU menunjukkan pasangan nomor urut 02 memiliki keunggulan yang lebih besar, mencapai 56,01%. Perbedaan sekitar 3%-5% antara hasil quick count dan data resmi KPU menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan masyarakat.

Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keakuratan dan keandalan quick count sebagai indikator awal hasil pemilu. Meskipun hasil quick count sering dianggap sebagai gambaran awal, perbedaan yang signifikan dengan data resmi KPU menunjukkan bahwa ada potensi ketidakpastian dalam interpretasi hasil quick count tersebut.

Pentingnya transparansi dan integritas dalam proses pemilu menjadi semakin jelas dalam konteks perbedaan ini. Kedua belah pihak, baik tim pemenangan maupun lembaga survei, harus melakukan klarifikasi dan menjelaskan kepada publik tentang metodologi yang digunakan dalam quick count mereka serta faktor-faktor apa saja yang mungkin mempengaruhi perbedaan angka tersebut.

Terkait hal ini, penting bagi masyarakat untuk tetap tenang dan bijak dalam menanggapi hasil quick count maupun data resmi KPU. Lebih dari sekadar angka, yang terpenting adalah integritas dan validitas proses pemilu itu sendiri. Hanya dengan demikian, kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan proses pemilihan umum dapat dipertahankan dan ditingkatkan.

Tentang Quick Count

Keunggulan Paslon 02 dalam versi Quick Count memang menarik perhatian banyak pihak. Dalam hitungan cepat ini, mereka berhasil unggul dan saat ini dianggap sebagai Presiden dan Wakil Presiden versi Quick Count. Namun, penting untuk diingat bahwa hasil ini masih bersifat sementara dan belum bersifat final.

Quick Count adalah metode cepat untuk menghitung suara berdasarkan sampel data dari sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS). Meskipun memberikan gambaran awal yang menarik, hasil ini masih berpotensi untuk berubah karena masih ada banyak data yang harus diinput dan diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Namun, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menafsirkan hasil Quick Count ini. Pertama, penting untuk memperhatikan bahwa data yang masuk ke sistem KPU terus diperbarui secara real-time. Ini berarti bahwa perubahan angka dapat terjadi seiring dengan masuknya data dari seluruh wilayah pemilihan.

Kedua, kesalahan input atau ketidakakuratan data juga dapat memengaruhi hasil. KPU akan melakukan verifikasi lebih lanjut untuk memastikan keakuratan data yang diterima. Dengan adanya proses verifikasi ini, diharapkan kesalahan input bisa diminimalisir, meskipun tidak sepenuhnya dihilangkan.

Terakhir, perlu diingat bahwa Quick Count hanya menggunakan sampel data, sedangkan hasil resmi KPU didasarkan pada penghitungan keseluruhan suara yang masuk. Ini berarti bahwa hasil Quick Count dapat saja tidak sepenuhnya mencerminkan hasil akhir yang diumumkan oleh KPU. Perbedaan metode ini juga dapat memengaruhi akurasi dan keandalan hasil yang dihasilkan.

Oleh karena itu, walaupun hasil Quick Count memberikan gambaran awal yang menarik, tetaplah penting untuk menunggu hasil resmi dari KPU. Hanya dengan hasil yang telah diverifikasi dan diumumkan oleh KPU lah yang dapat dianggap sebagai hasil yang akurat dan sah secara hukum.

Presiden Quick Count dan Tantangan

Meskipun Paslon 02 telah mengungguli dalam versi Quick Count, tetapi kemenangan mereka belum dapat dipastikan secara mutlak. Ancaman gugatan dari tim Paslon 01 dan Paslon 03 terkait dugaan kecurangan di beberapa daerah, seperti Surabaya dan Papua, menimbulkan bayangan ketidakpastian atas hasil akhir pemilu.

Dalam menghadapi klaim kecurangan tersebut, beberapa hal perlu diperhatikan dengan seksama. Pertama adalah konsistensi dan bukti yang kuat. Pasangan yang mengklaim adanya kecurangan harus konsisten dalam argumennya dan mampu mengumpulkan bukti yang mendukung. Jika memang terjadi kecurangan yang signifikan, langkah berikutnya adalah membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Namun, penting juga untuk mengingat pengalaman dari pemilu sebelumnya. Sejarah menunjukkan bahwa hasil pemilu tidak selalu berakhir sesuai dengan tuntutan gugatan kecurangan. Pada Pemilu 2019, meskipun terjadi perselisihan terkait kecurangan, pasangan calon akhirnya menyerahkan diri dan bergabung dalam pemerintahan yang terpilih. Hal ini menyoroti pentingnya sikap yang bijaksana dan bertanggung jawab dalam menghadapi hasil pemilu.

Selain itu, persentase kecurangan juga menjadi faktor penentu dalam mengukur dampaknya terhadap hasil akhir. Feri Amsari, seorang yang terlibat dalam film dokumenter "Dirty Vote," menegaskan bahwa jika persentase kecurangan relatif kecil, seperti Paslon 02 menang dengan perolehan suara 56% dan gugatan kecurangan hanya sekitar 5%, kemungkinan besar status Paslon 02 sebagai pemenang tidak akan terlalu terganggu. Namun, jika persentase gugatan kecurangan melebihi ambang batas tertentu, misalnya di atas 6%, maka situasinya bisa menjadi jauh lebih rumit dan mempengaruhi legitimasi hasil pemilu.

Suara Prabowo 2019 vs 2024

Paslon 02 (Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka) memang mencatat perolehan suara yang patut diperhatikan, mengundang perbincangan, terutama saat dibandingkan dengan hasil pemilu sebelumnya. Momentum ini menandai dinamika politik yang terus berkembang di Indonesia, memberikan gambaran yang menarik bagi para pengamat politik dan masyarakat secara luas.

Paralel dengan Pemilu 2019, pasangan Prabowo-Gibran menorehkan capaian yang signifikan dalam quick count, hampir setara dengan pencapaian pasangan Jokowi-Ma'ruf saat mereka memenangkan pemilu pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan bahwa basis dukungan untuk pasangan ini masih kokoh dan konsisten. Meskipun belum merupakan hasil resmi, namun perbandingan ini memberikan gambaran awal tentang dinamika pemilu dan kesetiaan pemilih terhadap pilihan politik mereka.

Penting juga untuk mencermati perolehan suara Ganjar Pranowo (Paslon 03), yang sebagian besar berasal dari partai PDIP. Meskipun PDIP berhasil mendapatkan suara yang cukup besar, mendekati suara Paslon 03, yaitu sekitar 16,8%, namun, perlu diperhatikan bahwa partai-partai lain, seperti PPP, tidak memberikan kontribusi signifikan untuk Paslon 03. Hal ini menunjukkan adanya dinamika internal di dalam partai-partai koalisi yang perlu diperhatikan lebih lanjut.

Sementara itu, Paslon 01 (Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar) dihadapkan pada tantangan karena perolehan suara mereka terlihat lebih rendah daripada total suara tiga partai pendukungnya. Dengan menghitung suara dari partai Nasdem, PKB, dan PKS, totalnya mencapai 29,13%, yang berarti sekitar 5% pemilih dari ketiga partai ini tidak memberikan dukungan penuh untuk Paslon 01. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa efektif partai-partai pendukung dalam memobilisasi basis pemilihnya.

Namun, soliditas partai pendukung menjadi faktor penting yang memperkuat posisi Paslon 02. Dengan didukung oleh semua partai pendukungnya dan kontribusi suara dari partai-partai lain, Paslon 02 berhasil menunjukkan soliditas dan koherensi dalam mendapatkan dukungan. Soliditas ini menjadi modal yang penting dalam meraih suara dan membangun posisi politik yang lebih kuat.

Dengan berbagai dinamika yang terjadi, hasil quick count ini memberikan gambaran awal yang menarik tentang arah politik yang mungkin akan diambil oleh masyarakat Indonesia. Namun, kita harus tetap waspada terhadap perubahan dan dinamika yang mungkin terjadi dalam perjalanan menuju hasil resmi pemilu. Semua pihak, baik peserta pemilu maupun masyarakat, perlu menjaga integritas dan semangat demokrasi untuk menciptakan proses pemilu yang adil dan transparan.

Mengingat Kembali Kemenangan Jokowi Ma'ruf tahun 2019

Pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin berhasil meraih kemenangan dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 dengan perolehan suara sebesar 55,50%. Kemenangan ini menegaskan posisi Joko Widodo untuk melanjutkan kepemimpinannya sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode kedua. Sebaliknya, pasangan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno memperoleh 44,50% suara, yang menempatkan mereka sebagai pesaing utama dalam kontestasi pemilihan tersebut.

Pengumuman resmi hasil pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia pada 21 Mei 2019 mencatat catatan sejarah dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Namun, kemenangan tersebut tidak diterima dengan lapang dada oleh Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi. Mereka menolak hasil tersebut dengan keras, menyatakan bahwa proses pemilihan penuh dengan ketidakadilan, kecurangan, dan kesewenang-wenangan.

Kontroversi yang menyelimuti hasil pemilihan tersebut menciptakan ketegangan politik yang mendalam di tengah masyarakat. Pihak pendukung Prabowo-Sandi menyalahkan berbagai faktor, termasuk dugaan kecurangan dalam proses pemungutan suara, pelanggaran protokol, serta ketidaknetralan lembaga penyelenggara pemilu. Mereka mendesak untuk melakukan audit menyeluruh terhadap proses pemilihan guna membuktikan dugaan kecurangan.

Di sisi lain, pihak pendukung Jokowi-Ma'ruf menegaskan bahwa kemenangan tersebut merupakan hasil dari proses demokratis yang adil dan transparan. Mereka menegaskan bahwa segala prosedur telah dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku dan bahwa hasil pemilihan adalah cerminan dari kehendak rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Pengaruh Dukungan Jokowi

Pada Pemilu 2019, dinamika politik menempatkan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno sebagai pasangan yang berjuang memperebutkan kursi kepemimpinan. Namun, hasil pemilu itu menyisakan catatan yang menginspirasi perhitungan strategi politik dalam Pemilu 2024.

Faktor krusial dalam dinamika perolehan suara antara Pemilu 2019 dan 2024 adalah dukungan partai politik. Di 2019, pecahan dukungan partai-partai besar seperti PKS, PKB, dan Nasdem menjadi pembeda antara kubu Prabowo dan Jokowi. Namun, pada 2024, lanskap dukungan berubah. PKS, PKB, dan Nasdem---partai yang sebelumnya mendukung Jokowi---bergabung dalam mendukung Prabowo. Ini menjadi tonggak penting karena mendorong konsolidasi suara yang signifikan untuk Prabowo.

Dari sisi matematis, pembanding suara pendukung Prabowo antara kedua pemilu menunjukkan perubahan yang cukup signifikan. Di Pemilu 2019, perolehan suara Prabowo hanya sekitar 44,5%. Namun, jika melihat secara teliti, dukungan murni untuk Prabowo, setelah mengurangi suara yang tidak mendukung dari partai-partai yang mendukung Jokowi, menyisakan sekitar 17,5% suara pendukung yang bertahan. Angka ini menjadi indikator penting dalam menilai seberapa kuat basis dukungan Prabowo di Pemilu 2024.

Kemudian, faktor terbesar yang mengubah paradigma politik adalah dukungan langsung dari Jokowi kepada Prabowo. Meskipun pada tahun 2019 Jokowi adalah rival politiknya, pada Pemilu 2024 Jokowi memberikan dukungan penuh kepada Prabowo. Dengan memberikan sikap yang jelas dan ikut cawe-cawe dalam urusan urusan pemilihan Capres-Cawapres. Jokowi secara efektif memberikan kontribusi besar terhadap kemenangan Prabowo.

Dukungan Jokowi bukan hanya sekadar simbolik. Dalam konteks perhitungan suara, suara yang dibawa oleh Jokowi dalam mendukung Prabowo jauh melampaui suara pendukung Prabowo yang bertahan dari pemilu sebelumnya. Ini mencerminkan pergeseran signifikan dalam politik nasional, di mana rivalitas politik bisa berubah menjadi kerjasama strategis yang memberikan keuntungan nyata dalam arena politik.

Kesimpulan

Dengan berbagai dinamika yang terjadi, hasil quick count ini memberikan gambaran awal yang menarik tentang arah politik yang mungkin akan diambil oleh masyarakat Indonesia. Namun, kita harus tetap waspada terhadap perubahan dan dinamika yang mungkin terjadi dalam perjalanan menuju hasil resmi pemilu. Semua pihak, baik peserta pemilu maupun masyarakat, perlu menjaga integritas dan semangat demokrasi untuk menciptakan proses pemilu yang adil dan transparan.

Sebagai kesimpulan, perpindahan suara partai politik dari Pilpres 2019 ke Pilpres 2024 adalah fenomena yang kompleks dan beragam. Hal ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor politik, sosial, dan ekonomi yang saling terkait. Dengan memahami faktor-faktor ini, kita dapat mengembangkan wawasan yang lebih baik tentang dinamika politik Indonesia dan mengantisipasi perkembangan politik di masa depan.

Polarisasi politik yang terjadi pasca-pemilu menggambarkan betapa pentingnya memperkuat sistem demokrasi, menjaga integritas penyelenggaraan pemilihan umum, dan meningkatkan partisipasi serta pemahaman politik masyarakat. Pemerintah, lembaga-lembaga terkait, dan seluruh elemen masyarakat perlu bekerja sama untuk menyelesaikan perbedaan pandangan secara damai dan memperkuat fondasi demokrasi Indonesia untuk masa depan yang lebih baik.

Dengan demikian, dalam menyikapi gugatan kecurangan pasca pemilu, diperlukan pendekatan yang cermat dan bijaksana. Langkah-langkah yang diambil harus didasarkan pada bukti yang kuat dan disertai dengan sikap yang mengutamakan kepentingan rakyat dan stabilitas politik negara.

Terkait dengan kemenangan Paslon 02 versi Quick Count, tidak mengherankan jika Prabowo merasa terhormat dan bersyukur atas dukungan yang diberikan oleh Jokowi. Dukungan itu bukan hanya memperkuat posisi Prabowo sebagai calon pemimpin, tetapi juga menegaskan bahwa dalam politik, segalanya mungkin terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun