Kebanyakan orang Minang dan Sumatera Barat melihat kiprah Gibran sebagai representatif Jokowi, di mana Jokowi tidak begitu disukai karena dulunya didukung oleh PDIP. Secara historis orang Minang dan Sumatera Barat tidak memperlihatkan dukungan yang signifikan kepada partai PDIP. Bisa jadi ini imbas sejarah masa lalu dimana beberapa tokoh minang "dianaiaya" secara politik oleh Sukarno, termasuk M. Hatta dan Prof. Dr. Hamka . Faktor lain adalah beberapa kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Jokowi menurut kacamata orang Minang itu tidak sepatutnya keluar dari bilik Presiden RI.Â
Cacat utama Gibran di mata orang Minang ada dua, yang pertama adalah kontroversi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), dan kedua adalah representasinya sebagai figur Presiden Jokowi. Kontroversi terkait keputusan MK semakin menguat dengan pemecatan ketua MK dan munculnya laporan terhadap Gibran dari pihak Penggugat di MK, yang telah membuka jalan bagi penunjukannya sebagai calon wakil presiden yang sah secara undang-undang.
Menurut pandangan saya sebaiknya Gibran dan Jokowi bersabar 5 atau 10 tahun lagi sebelum mencalonkan diri sebagai cawapres, apalagi capres. Alasan-alasan yang mendukung pendapat ini cukup beralasan. Pertama, pengalaman politik Gibran yang masih terbatas, hanya 3 tahun terjun ke politik, mungkin belum cukup untuk memahami dinamika politik secara mendalam. Kedua, sebagai representatif Jokowi, keputusan politik yang diambilnya bisa dianggap sebagai kelanjutan dari kebijakan Jokowi, yang belum tentu selalu disukai oleh semua golongan, terutama di daerah-daerah tertentu seperti Sumatera Barat.
Menunggu beberapa tahun juga akan memberikan kesempatan bagi Gibran untuk memperluas wawasannya, membangun koneksi politik yang lebih luas, dan memperoleh pengalaman yang lebih berharga dalam memimpin. Tidak dapat dipungkiri bahwa dukungan terhadap Gibran sekarang ini karena factor Jokowi yang masih berkuasa. Beda hal kalua Jokowi sedang tidak berkuasa, hamper dipastikan status cawapres sulit diperoleh. Dengan menunggu 5-10 tahun lagi dia akan berkemabng secaa almi sebagao actor politik dan akan membuatnya menjadi kandidat yang lebih matang dan siap untuk mengemban tanggung jawab sebagai cawapres atau bahkan calon presiden di masa yang akan datang.
Di sisi lain dengan bersabar, Gibran dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk lebih mengenal dirinya secara mendalam, bukan hanya sebagai putra Jokowi atau figur yang kontroversial, tetapi sebagai pemimpin yang memiliki visi, komitmen, dan integritas yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka.
Dengan demikian, menunda pencalonan Gibran sebagai cawapres atau calon presiden bukanlah tindakan yang sia-sia, tetapi alangkah yang bijak untuk memastikan bahwa pemimpin yang dipilih benar-benar siap dan layak untuk memimpin bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik.Â
Penutup
Memilih pemimpin merupakan bagian tak terpisahkan dari kultur budaya Indonesia, termasuk di Sumatera Barat yang didasarkan pada kearifan lokal Minangkabau. Sifat egaliter dan budaya musyawarah telah membentuk karakter orang Minang, yang tidak hanya terpaku pada satu figur pemimpin, tetapi lebih mengutamakan nilai-nilai tokoh, takah, dan tageh. Dengan prinsip-prinsip ini sebagai panduan, masyarakat Minangkabau selalu terbuka terhadap kemungkinan perubahan pilihan calon presiden.
Dalam konteks Pemilu 2024, persaingan antara Anies dan Prabowo menjadi sorotan utama, sementara Ganjar diperkirakan memiliki peluang yang lebih kecil. Namun, bagi masyarakat Minang, pilihan politik bukanlah hal yang statis. Mereka cenderung untuk mengevaluasi kinerja dan integritas setiap calon dengan seksama, tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal seperti popularitas atau afiliasi partai.
Gibran memang sudah resmi menjadi Cawapres Prabowo secara undang-undang, namun di tingkat arus bawah orang Minang, belum saatnya dia tampil mengingat pengalaman politik yang masih sedikit dan kontroversi keputusan MK. Ini juga baik untuk meningkatkan pengalaman, wawasan dan jaringan politiknya sendiri, bukan jaringan semata jaringan politik Jokowi.
Dengan demikian, keputusan akhir akan tergantung pada bagaimana masing-masing calon mampu menunjukkan komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip kepemimpinan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Minangkabau. Dalam hal ini, tantangan bagi setiap calon adalah untuk memperoleh dukungan dengan menunjukkan kualitas kepemimpinan yang sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi masyarakat Sumatera Barat.
Realita telah membawa kita ke dalam arena kontes pemilu, seperti sebuah hidangan yang tersaji di hadapan kita. Tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden telah sah ditetapkan, dan sekarang giliran pemilih untuk memutuskan. Tidak ada pasangan yang sempurna dalam politik ini, namun yang ada hanyalah pasangan yang nyata. Yang menentukan pada akhirnya bukanlah citra sempurna yang digambarkan oleh kampanye politik, melainkan nurani yang berbicara dan tangan yang memilih di bilik suara. Inilah esensi demokrasi, di mana keputusan terletak pada tangan rakyat, yang akan menentukan arah masa depan negara ini. Oleh karena itu, penting bagi setiap pemilih untuk mempertimbangkan dengan hati-hati, mengkaji pilihan mereka secara seksama, dan mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan bersama.