Di kota di mana baliho berkibar tinggi,
Wajah-wajah politikus menghiasi angkasa,
Seolah mimpi indah, namun ironi terbuka,
Dalam bisikan angin, rahasia terkuak tajam.
Baliho, oh baliho, layarmu mencari perhatian,
Foto senyummu, slogan penuh janji,
Namun di balikmu tersimpan kekecewaan,
Politikus, apakah kau hanyalah bayangan semu?
Dalam pandemi, di tengah derita rakyat,
Baliho-baliho bertanya, ke mana arahmu?
Biaya melambung tinggi, sementara keluh kesah tumbuh,
Demi demokrasi, namun rakyat terlewat dalam rasa.
Pemandangan kota terhias baliho bertubi,
Biayanya tercatat, puluhan juta terbang,
Sementara kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur merana,
Baliho, apakah wujudmu bukan cermin keprihatinan?
Dalam estetika kota, kau merusak keindahan,
Baliho di jembatan, di pohon, di gedung,
Polusi visual tercipta, dan lingkungan terpangkas,
Politikus, adakah kau mendengar derap langkah kritis?
Hukum dan norma diabaikan dalam gebrakkanmu,
Baliho di luar kampanye, melanggar aturan,
Ketidaksetujuan menggelegar, konflik meluap,
Baliho, apakah kau tahu konsekuensi yang kau timbulkan?
Foto dan slogan, tanpa substansi dan makna,
Politikus, apakah ini semua hanya sandiwara?
Publik terbius, citra palsu terbentuk,
Baliho, apakah wujudmu benar-benar nyata?
Di zaman digital, kreativitas kau tinggalkan,
Baliho tua, di tengah dunia yang terhubung,
Media sosial tergusur, dialog sirna,
Politikus, apakah kau ketinggalan zaman?
Dalam kritik pedas, baliho politik terpapar,
Sebuah puisi menyentuh, memanggil kejujuran,
Demokrasi kita, suara rakyat yang terucap,
Politikus, baliho bukanlah satu-satunya jawaban.
Bimbinglah negara ini menuju cahaya kebenaran,
Bukan dalam bayangan baliho yang berlebihan,
Pandanglah rakyat, dengarlah jerit hati,
Demokrasi sejati, tercipta dalam tindakan nyata.