Mohon tunggu...
Aulia Rachman Alfahmy
Aulia Rachman Alfahmy Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UGM

Selanjutnya

Tutup

Catatan

My Name is Khan: Cerita Sebuah Scene Pinggiran

26 Maret 2010   06:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:11 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini saya menonton My Name is Khan, berdua dengan Eka Nugraha (Eka laki-laki, dan saya pria normal, ha ha ha ha ha). Tibalah pada satu scene lucu tapi mungkin bagi setiap orang dianggap sebagai scene pinggiran nan pelengkap.

Sejurus scene itu berlalu, saya bilang sama si Eka, "Eka aku tahu inspiras dan motivasi dari scene itu"

Eka bingung, "Hah apa, yang tadi?"

Saya jawab, "iya, ada sesuatu di balik itu..."

Eka masih bingung, "Heh, apa... hmmm.."

Karena takut ini bakal menjadi diskusi panjang dan menggangu penonton dan juga diri saya pribadi sedang menikmati film itu, lalu saya hanya mengatakan, "Setelah film ini saja...."

Apakah scene itu?

Maaf bukan saru. Tapi ceritanya begini. Si Khan, baru pulang ke rumah. Istrinya, Mandira, sedang memasak di dapur. Karena pengantin baru, si Khan ini dengan enteng bilang dengan gaya "autis"nya kepada Mandira bahwa ia ingin berhubungan seksual. Sontak, penonton tertawa, saya tersenyum. Adegan tersebut tentu saja tidak berlanjut ke hal yang lebih vulgar, hanya diakhiri dengan tawa girang dari Mandira dengan meninggalkan masakannya menyusul suaminya ke kamar.

Saya jadi teringat sebuah Hadis (maaf saya tidak tahu kedudukannya, apakah daif, hasan, shahih). Kejadian itu persis yang diceritakan sebuah hadis yang pernah saya dengar. Ya, saya ingat benar saya pernah dengar hadis itu. Karena saya bukan penghafal, saya coba cari di Google, eh bener ada dan ketemu, begini bunyinya:

"Jika seseorang mengajak isterinya berhubungan intim, maka si isteri harus memenuhinya sekalipun sedang berada di dapur..."
[idzâ da'â ar-rajulu imra'tahû li hâjatihi, falta'tihî walaw kânat 'alâ at-tannûr.... ].
(lihat Sunan at-Turmudzi, III/465, no. hadis: 4697)

Nah, memang seolah sebuah hadis yang tidak egaliter, diskriminatif terhadap perempuan, dsb. Tapi, seperti yang awal saya ingin katakan, dalam film itu menunjukan bagaimana seharusnya hadis tersebut diamalkan. Di mana baik dari suami dan istri sama-sama senang dan gembira. Ada cinta dan bukan paksaan membabi buta.

Saya sangat yakin, sang sutradara terinspirasi oleh hadis di atas dan melalui scene pinggiran itu, coba mengkritik pamahaman "keras" dari hadis tersebut dengan memberikan gambaran ideal yang humanis. Di mana ada keseteraan antara wanita dan pria. Hebatnya, sang sutradara bukannya menegasikan dengan kasar (misal: sang istri menolak mentah-mentah dan suami menurut), tapi sentuhan yang benar-benar "pas" menurut saya. Ya, sebuah scenei yang mungkin bagi sebagian orang hanya dianggap sebagai pemanis dan canda tawa saja. Tapi bagi saya itu luar biasa.

Demikianlah film My Name is Khan, sebuah film yang sebenarnya coba mengkomunikasi apa itu Islam kepada orang-orang non-Islam. Sarat atas unsur cinta damai dan bahkan liberalisme. Mungkin, bagi para penganut Islam konservatif agak kurang sreg. Misal isu Palestina-Israel yang dalam cerita ini dipinggirkan dan bahkan dianggap bisa menjadi salah satu sumber terorisme. Mau bagaimana lagi, inilah value yang coba diberikan. Tinggal bagaimana kita meresapinya...

Wah, film ini semakin "menyeret" saya dalam alam pikiran kaum liberal... ha ha ha ha ha

Jogja 25 maret 2010.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun