Saya sangat yakin, sang sutradara terinspirasi oleh hadis di atas dan melalui scene pinggiran itu, coba mengkritik pamahaman "keras" dari hadis tersebut dengan memberikan gambaran ideal yang humanis. Di mana ada keseteraan antara wanita dan pria. Hebatnya, sang sutradara bukannya menegasikan dengan kasar (misal: sang istri menolak mentah-mentah dan suami menurut), tapi sentuhan yang benar-benar "pas" menurut saya. Ya, sebuah scenei yang mungkin bagi sebagian orang hanya dianggap sebagai pemanis dan canda tawa saja. Tapi bagi saya itu luar biasa.
Demikianlah film My Name is Khan, sebuah film yang sebenarnya coba mengkomunikasi apa itu Islam kepada orang-orang non-Islam. Sarat atas unsur cinta damai dan bahkan liberalisme. Mungkin, bagi para penganut Islam konservatif agak kurang sreg. Misal isu Palestina-Israel yang dalam cerita ini dipinggirkan dan bahkan dianggap bisa menjadi salah satu sumber terorisme. Mau bagaimana lagi, inilah value yang coba diberikan. Tinggal bagaimana kita meresapinya...
Wah, film ini semakin "menyeret" saya dalam alam pikiran kaum liberal... ha ha ha ha ha
Jogja 25 maret 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H