Sudah tiga bulan terakhir saya menjadi pengamat Youtube. Saya juga pastinya mendukung channel-channel yang baik, mendidik, memberikan motivasi, dan memberikan pengetahuan baru buat saya. Tapi ada yang membuat saya resah beberapa minggu terakhir ini dan rasanya ingin sekedar memberikan opini buat para Youtuber di Indonesia tercinta ini.Â
Yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah untuk menjadi Youtuber terkenal , cowok harus menjadi "perempuan"? Karena banyak sekali para Youtuber yang "akting" menjadi perempuan. Okelah, penonton Youtube memang haus akan hiburan. Kebanyakan kita penonton Youtube memang sudah malas nonton televisi yang isinya hanya gosip, fitnah, dan tayangan alay.Â
Akhirnya banyak yang beralih ke Youtube. Lalu apa yang terjadi beberapa bulan terakhir? Banyak sekali cowok-cowok berseliweran akting menjadi perempuan. Dengan gaya masing-masing, dengan logat bicara masing-masing, dengan aksesoris masing-masing. Saya akui memang semua cerdas dan berbakat. Idenya luar biasa dan kontennya juga bagus. Â
Sebagian besar memang berakting menjadi "Emak-emak" rempong yang karakternya cerewet, lucu, sayang sama keluarga , sekaligus menjadi otokritik buat kita para Ibu yang "mungkin" terlalu cerewet pada anaknya, terlalu suka bergosip, terlalu pelit dan terlalu-terlalu lainnya yang menjurus ke hal negatif dan tidak baik. Semua itu memang oke-oke saja.Â
Kembali kepada Youtube, saya tahu dan paham sekali bahwa membuat konten itu tidak mudah. Butuh ide yang keren, personel yang kompeten di bidangnya (kameramen, sutradara, penulis naskah, editor, penata lampu , dll). Dan tentu saja butuh waktu untuk memproses semua hasil video itu.
Coba kita cek saja sebagian yang saya tahu ya. Mulai Abdul Kadir (D Kadoor) , Arif Muhammad (Mak Beti), Alvin Matondang (Mamak Gardam), sampai Yoga Arizona (Tasya Arizona). Memang mereka masih tetap "laki-laki" karena tak mencukur kumis dan bulu ketek, tapi rata-rata mereka memakai kerudung dan rambut palsu, bahkan Abdul Kadir sampai memoles gincu merah. Â
Walhasil mereka mereka memang patut diacungi jempol , karena berhasil menghibur penonton dengan gayanya yang kocak dari karakter yang mereka pilih. Kadang saya tersenyum sendiri melihat tingkah mereka dan bergumam sendiri "perempuan asli juga gak segitunya, kaliii" .Â
Yang saya khawatirkan adalah penonton anak-anak. Bagaimana mereka menyikapi sebuah konten yang isinya adalah laki-laki yang menjadi "perempuan". Lama-lama mereka akan menganggap bahwa yang mereka tonton adalah hal yang biasa. Bahwa "boleh" saja laki-laki berperilaku menjadi perempuan. Padahal menurut kepercayaan yang saya anut, kita tak boleh menyerupai penampilan seperti lawan jenis kita (meskipun itu hanya akting atau bercanda). Bahkan KPI melarang tayangan yang menampilan lelaki yang menyerupai wanita.Â