Sampai musibah itu datang. Saking seringnya Ayah mendengar kata-kata mitos yang tidak bertanggung jawab itu, Ayah sampai sakit. Dan akhirnya meninggal saat Naomi dan Setya kelas 6 SD. Masa-masa yang sulit bagi kami bertiga. Ibu harus bisa menambah penghasilan keluarga , dan tidak hanya mengandalkan pensiun ayah. Ibu semakin serius menjalankan usaha bikin kue. Menjual ke pasar dan dititipkan di warung-warung terdekat.
“Bagaimana pendapatmu tentang anggapan orang-orang itu, Mi?”, tanya ibu suatu sore di ruang makan keluarga. “Anggapan apa, Bu?”, Naomi bertanya balik mengerutkan dahi dengan pura-pura. “Anggapan mitos itu, Bu?, tanya Setya. Ibu malah mengambil nafas panjang. Seolah melepas penat dan beban berat. “Bu, hari gini nggak usah percaya mitos. Semua di dunia ini sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa”. Ibu hanya bisa mengangguk lemah.
*****
Setelah lulus SMP, kebimbangan ibu semakin dalam. Seperti sebuah badai di siang bolong, Ibu mengatakan bahwa tidak mampu untuk menyekolahkan kami berdua secara bersama. Maksudnya ibu hanya mempu menyekolahkan salah satu dari kami. Naomi dan Setya hanya bisa sesenggukan. Air mata mereka menglir deras. Mereka menyadari masuk sekolah begitu banyak biaya yang harus dikeluarkan . Dulu masuk SMA Negeri itu berbiaya paling murah. Tapi sekarang kebalikannya, masuk sekolah negeri biayanya paling mahal. Karena menjual gengsi dan prestise.
Bersyukur jalan keluar itu selalu ada . Pak Dhe Fadli, Kakak Ibu ,yang berada di Surabaya, mau menyekolahkan Setya. Antara sedih dan gembira, Setya menerima ajakan itu, dengan syarat Setya harus membantu menjaga toko Pak Dhe sore hari setelah pulang sekolah.
*****
Tiga tahun bagi Naomi , adalah waktu yang lama berpisah dari belahan jiwanya. Meskipun setahun sekali mereka berjumpa saat lebaran tiba. Dan saat lulus SMA, adalah saat mendebarkan bagi Naomi. Perasaan bergemuruh kembali melanda Naomi. Dia mendapat kabar bahwa Setya sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta di bagian gudang.
Setahun sudah Naomi bekerja membantu ibu membuat kue pesanan. Namun perasaan ingin bertemu Setya tak kunjung terlunasi. Ingin rasanya kembali merajut kenangan bersama. Mancing bareng, mbolang ke sawah nenek mancari rebung atau pisang yang masak. Atau bermain kelereng bersama seperti waktu SD. Tiba-tiba tak terasa pipi Naomi membasah.”Apa yang kau pikirkan, Mi? Setya lagi?”, ibu seolah hafal membaca perasaan Naomi. Naomi hanya diam , dan akhirnya mengangguk. Ibu ditubruknya dan memeluk erat. Suara tangisan itu semakin keras. Punggung Naomi dielus Ibu dengan hangat.
*****