Mohon tunggu...
Yuha Nuzula Aulia
Yuha Nuzula Aulia Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa PPG Prajab Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

The best things come from living outside of your comfort zone

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kekerasan di Sekolah, Jadi Pandemi di Dalam Pendidikan

19 Januari 2024   05:48 Diperbarui: 19 Januari 2024   05:56 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Apabila kita sadari, berbagai pemberitaan tidak pernah berhenti memberitakan kasus kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia.  Tak dipungkiri, berbagai kalangan terlibat dalam kasus kekerasan itu, mulai dari kasus guru yang dibacok siswanya karena tak terima mendapat nilai jelek saat Ujian Tengah Semester, siswa senior yang menganiaya adik kelasnya dengan dalih 'mendisiplinkan,' atau bahkan kekerasan antarsiswa yang saling menantang hingga terjadi baku hantam yang sebetulnya alasan dibaliknya hanya karena hal yang sepele.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, sepanjang Januari-Agustus 2023 terdapat 379 anak usia sekolah menjadi korban kekerasan fisik dan perundungan di lingkungan sekolah.

Terbukti, baru-baru ini ada kasus seorang siswi kelas 2 SD di Menganti, Gresik, Jawa Timur harus kehilangan penglihatan sebelah matanya karena  kekerasan yang dilakukan oleh kakak kelasnya. Alasannya pun sepele, karena korban tidak mau memberikan uang jajannya yang diminta oleh pelaku sehingga matanya ditusuk dengan tusuk pentol.

Kekerasan yang dilakukan kakak kelas kepada adik kelasnya tersebut tentu tidak bisa dibenarkan. Apalagi, dibalik kekerasan tersebut terjadi hanya karena alasan sepele tidak mau memberikan uang jajannya. Di tingkat SD saja sudah kita temui problem senioritas atau bullying, apalagi di tingkat yang lebih tinggi.

Sebenarnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah membuat undang-undang yang nantinya diharapkan menjadi payung hukum pencegahan dan penanganan kekerasan di dalam dunia pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023. Namun, dari kenyataan yang kita ketahui, aturan ini hanya menjadi ”harimau kertas”.

Permasalahan yang sampai pada tindak kekerasan tersebut sebenarnya tidak serta merta terjadi karena faktor premanisme tetapi bisa jadi karena lingkungan mereka, seperti ketika ada orang dewasa yang berkata kotor atau suka memukul maka anak kecil yang melihatnya secara otomatis merekam peristiwa tersebut di otak dan kemudian mempraktikkannya. Selain itu, bisa karena faktor tontonan. Orang tua yang tidak bijak, membiarkan anak bermain gawai dengan melihat tontonan yang tidak sesuai dengan usianya ataupun bermain gim yang memiliki unsur kekerasan mengakibatkan anak mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dari banyaknya kekerasan yang telah terjadi di sekolah, diketahui bahwa faktor-faktor penyebab munculnya berbagai bentuk kekerasan yang dialami atau dilakukan siswa di sekolah, di antaranya adalah proses interaksi antara siswa senior dengan juniornya, siswa dan guru, ataupun antar siswa yang tidak rukun serta proses pendidikan yang tidak mendukung suasana belajar yang berpihak kepada siswa serta lingkungan belajar yang tidak aman, nyaman, dan menyenangkan. 

Lalu solusi apakah yang dapat dilakukan untuk mencegah bahkan mengurangi tingkat kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan kita?

Guru selain harus paham akan berbagai jenis dan faktor terjadinya kekerasan, mereka juga perlu memahami dan mengetahui bagaimana strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan kepada siswa di dalam satuan pendidikan. Mengacu kepada keyakinan Ki Hadjar Dewantara bahwa kunci utama agar dapat terciptanya siswa yang beradab adalah melalui pendidikan. Pendidikan menjadi tempat belajar dan berproses munculnya nilai-nilai kemanusiaan yang kemudian diharapkan dapat berlanjut ke generasi berikutnya. Oleh karenanya, perlu untuk menciptakan pendidikan yang memerdekakan siswa.

Guru sebagai penuntun dan fasilitator memberikan kebebasan kepada siswa dalam proses pembelajaran tetapi tetap mengawasi dan mengarahkan mereka agar tidak terjadi kekeliruan sehingga  mereka selain diberi kesempatan untuk bereksplor dalam proses pembelajaran juga tetap terarah. Selain itu, guru harus bisa menciptakan pendidikan yang memerdekakan siswa dengan memahami kebutuhan belajar siswa sesuai dengan tahap perkembangannya. Siswa mempunyai hak untuk berpendapat dan berpartisipasi, tidak hanya dijadikan objek saja. Oleh karena itu, diperlukan strategi pembelajaran yang berpusat kepada siswa. 

Selain itu, guru dengan menerapkan sistem 'Among' harus bisa menuntun siswa agar menemukan dan mengembangkan potensi dirinya sesuai dengan kodratnya. Kita pernah mendengar ungkapan, didiklah mereka sesuai dengan zamannya. Ungkapan tersebut memang sangat berpengaruh dalam mendidik anak sesuai dengan kodrat zamannya. Apalagi, di zaman yang serba canggih saat ini diharapkan guru dapat mengintegrasikan media teknologi di dalam pembelajaran agar siswa juga tidak hanya berpacu kepada sumber buku saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun