Cukai rokok memiliki peran penting dalam penambahan kekayaan negara. Pemerintah tidak bisa serta merta mengeluarkan aturan untuk melakukan penutupan usaha rokok. Saat ini banyak orang yang bergantung kehidupannya kepada rokok. Seperti petani tembakau, pelintingan tangan dan pekerja di perusahaan rokok.
Pemerintah saat ini hanya dapat memberikan peringatan tentang bahaya merokok dan larangan untuk merokok di tempat umum. mengenai bahaya merokok, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 1999 tentang amannya rokok bagi kesehatan dalam pasal 6 peraturan pemerintah, yaitu mengatur peringatan bahaya merokok pada label rokok yang bertuliskan "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan, dan janin". Namun, hal ini tidak mengurangi jumlah perokok di Indonesia Peraturan Pemerintah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Pasal 14 menyatakan bahwa setiap produsen rokok wajib mencantumkan gambar bukan hanya tulisan dan teks hanya memiliki satu
arti yang berbeda yaitu "Merokok Bisa Membunuh mu" berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 yang hanya mencantumkan teguran tertulis. Selain peraturan tentang pengenaan label bahaya merokok kesehatan, pemerintah juga mengeluarkan peraturan tentang pembatasan pada masyarakat tempat merokok yaitu UU No. 32 Tahun 2010 tentang Larangan Merokok yang menyatakan bahwa kawasan larangan merokok adalah tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, pelayanan kesehatan kegiatan, tempat ibadah dan transportasi umum., arena untuk anak-anak. Namun, dengan peringatan itu gambar dan tulisan itu tidak mengurangi jumlah perokok dan larangannya larangan merokok, masih ada orang yang merokok di tempat umum. Berdasarkan data, para jumlah perokok dari tahun ke tahun mengalami peningkatan sebesar 8,8%. Jumlah aktif perokok di Indonesia adalah enam puluh juta orang. Ini mengkhawatirkan mengingat beberapa di antaranya berasal dari kalangan anak-anak usia 10 tahun hingga remaja 18 tahun yang merupakan perokok aktif.
Negara saat ini membutuhkan pembangunan infrastruktur. Bahkan Pemerintah Provinsi berhak memungut pajak dari cukai rokok berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf e yang menyebutkan bahwa Pajak Rokok merupakan salah satu dari
lima jenis pajak yang dapat dipungut oleh Pemerintah Provinsi. Berdasarkan Pasal 29, Tarif Pajak Rokok yang dapat ditarik oleh Pemerintah Provinsi hanya sebesar 10% dari Cukai Rokok.
Implementasi kebijakan pemerintah dalam penggunaan pajak berganda dalam pembayaran jaminan kesehatan nasional dan dampak kebijakan penggunaan cukai rokok dalam pembayaran jaminan kesehatan Nasional. dinilai oleh pajak sebagai fungsi reguler. Penggunaan pungutan rokok untuk dana kesehatan termasuk dalam pajak berganda, yaitu pajak rokok yang menjadi kewenangan pungutan pemerintah daerah dan cukai rokok yang menjadi kewenangan pungutan pemerintah pusat. Namun mengingat BPJS mengalami defisit, maka melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 menjadi landasan hukum bagi Pemerintah Daerah untuk mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan melalui iuran pajak rokok sebagai bagian dari hak masing-masing daerah/ provinsi. / kabupaten/ kota sebesar 75% dari 50%. pajak rokok yang diterima. Sejak tahun 2020 pemerintah mulai mengalokasikan sebagian dari pajak rokok dan cukai tembakau yang diterima pemerintah daerah untuk sektor kesehatan. Namun, pada Desember 2020 alokasi dana ini turun dari semula 50 persen menjadi 25 persen. "Di tahun 2020 sudah bisa mendapatkan cukup besar kontribusi dari cukai rokok, sekitar 50 persen bagi kesehatan. Tetapi tidak lama berselang, pada Desember 2020, terjadi dinamika yang menggeser proporsinya dari 50 persen menjadi 25 persen," jelasnya. Menurut dia, perlu ada upaya advokasi agar pemerintah pusat dapat merealokasi kembali dana untuk sektor kesehatan menjadi 50 persen atau memberikan fleksibiltas penggunaan dana pajak rokok dan cukai tembakau untuk pengembangan sektor kesehatan di tingkat daerah.
Di sisi lain, pemerintah pusat dan daerah perlu untuk menyusun panduan teknis inovasi penggunaan pajak rokok dan cukai tembakau di sektor kesehatan, misal untuk optimalisasi pembelanjaan obat dan alat kesehatan termasuk obat inovatif kanker yang pada akhirnya akan mendatangkan manfaat bagi masyarakat. "Kalau kita lihat, 25 persen variasinya tinggi di tiap daerah dan daerah rata-rata tidak memiliki keberanian untuk membuat inovasi-inovasi, menggunakannya sesuai prioritas yang sudah ditentukan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat," tutur Diah. Diah mengatakan, perlu adanya kecermatan dalam mengelola sumber daya baik itu pembiayaan maupun lainnya agar bisa mengurai masalah pembiayaan kesehatan secara efisien dan efektif. Sementara dari sisi sumber pembiayaan, bisa mencontoh negara-negara lain yang mendatangkan dana dari kegiatan amal keagamaan untuk digunakan pada hal-hal yang tidak tercakupi oleh skema pembiayaan kesehatan yang ada. "Di beberapa negara sudah mengelola dana-dana yang dihasilkan dalam bentuk pajak dosa, yang berkontribusi terhadap problem-problem kesehatan. Ini dikelola sebagian sebesar kembali lagi mengatasi problem - problem kesehatan.
Dalam kesimpulannya, pemanfaatan pajak rokok dan bea cukai untuk penambahan pembiayaan kesehatan merupakan langkah yang penting dalam meningkatkan pembangunan negara dan mendukung penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional. Dengan adanya dana yang cukup, program jaminan kesehatan dapat berjalan dengan baik dan memberikan akses pelayanan kesehatan yang lebih luas bagi masyarakat. Namun, perlu diimbangi dengan upaya pengendalian konsumsi rokok dan peningkatan kesadaran akan bahaya merokok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H