Mohon tunggu...
Aulia Fitra Nisa
Aulia Fitra Nisa Mohon Tunggu... Lainnya - Aulia

IAIN SALATIGA EKONOMI SYARIAH'18

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Larangan Riba dalam Ekonomi Perbankan Syariah

13 November 2020   13:29 Diperbarui: 13 November 2020   13:36 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. RIBA


Larangan riba pada dasarnya sudah menjadi hal yang tidak asing dalam ekonomi Islam. Riba berasal dari bahasa arab yang secara etimologi berarti al-ziyddah (tambahan). Tambahan disini disesuaikan dengan penambahan atas harta pokok tanpa adanya bisnis riil.
Larangan riba juga termuat dalam Al-Quran dengan segala bentuk larangan-larangannya yang tidak dapat ditoleransi. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surah Al-Baqarah 275
"Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual-beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya."

Lalu bagaimana larangan riba ini diturunkan dalam Al-Quran?

Dalam Al-Quran, larangan riba diturunkan menjadi empat tahapan, diantaranya

Pertama,menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada lahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Kedua, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah mengancam akan memberikan balasan kepada orang-orang yang memakan riba.

Ketiga, riba diharamkan dikaitkan dengan suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa mengambil bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan suatu fenomena yang banyak dipraktikkan.

Keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas melarang serta mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.

Untuk riba dalam perspektif hadits nabi juga berkaitan dengan bentuk-bentuk jual beli. Semua praktik riba pada masa pra-Islam adalah batal dan tidak berlaku. Jika barang yang dijualbelikan berbeda, maka dapat dilakukan dengan menentukan ukuran, kadar, atau berat timbangannya asalkan barang tersebut diserahterimakan secara langsung. Namun, apabila sifat barang yang diperjual belikan berubah, sebagai contoh berubahnya warna barang diakibatkan terlalu lama tidak terjual, maka dapat dilakukan dengan ukuran yang berbeda.


  Apa saja jenis-jenis riba?
Jenis jenis riba dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu riba utang piutang dengan riba jual beli.
Riba utang piutang juga terbagi menjadi dua, yaitu Pertama, Riba Qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang. Sebagai contoh, seseorang berhutang lima puluh ribu rupiah diharuskan membayar kembali enam puluh ribu rupiah, maka tambahan tersebut adalah riba Qardh. Kedua, Riba Nasiah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan barang ribawi yang ditukar dengan jenis barang ribawi lainnya

B. pada bank syariah
Bank syariah adalah suatu lembaga keuangan sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam. Sistem perbankan dalam pelaksanaan operasional tidak menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maisir), dan ketidak pastian dan ketidak jelasan (gharar). Bank syariah juga memiliki fungsi sebagai pengelolah dana zakat, dan dana amal lainnya.


Lalu bagaimana perbedaan bank syariah dan bank konvensional yang sudah kita kenal selama ini?
Perbedaan yang menjadi faktanya adalah tidak adanya bunga pada bank syariah dan unit usaha syariah seperti pada bank konvensional. Nasabah akan mendapatkan keuntungan bagi hasil saat menabung. Bagi hasil di bank syariah berbeda dengan bunga bank konvensional. Pada sistem bunga nasabah akan mendapatkan hasil yang sudah pasti berupa presentase tertentu dari saldo yang disimpannya di bank konvensional tersebut. Berapapun untungnya pihak bank, nasabah akan mendapatkan hasil yang sudah pasti. Lain halnya pada sistem bagi hasil, tidak seperti itu. Bagi hasil dari hasil usaha pihak bank dalam mengelolah uang nasabah. Bank dan nasabah membuat perjanjian bagi hasil berupa persentase tertentu untuk nasabah dan untuk bank, perbandingan ini disebut nisbah.


Menurut M. Umer Charpa, seluruh ulama menyetujui dengan tidak ada yang membolehkan adanya bunga pada bank.
Karena akibat penentuan suku bunga pada bank Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan pinjaman dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun