Dari Kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan kehidupan bagi Ko Hyeong Ryeol ini tidak terlepas dari adanya campur tangan Illahiah (Tuhan). Namun pada puisi ini tergambarkan realitas di mana manusia seringkali lupa bersyukur atas apa yang telah Tuhan anugerahkan dalam hidup mereka. Bahkan tak jarang manusia berjalan di atas muka bumi dengan menyombongkan dirinya. Seakan-akan ia hidup berkat hasil dari jerih payah usahanya sendiri. Pada penggunaan diksi "Surya" merujuk pada Tuhan atau Dewa, hal ini berdasar dari berbagai referensi salah satunya penganut agama Shinto di Jepang. Surya dianggap sebagai dewa tertinggi diantara dewa lainnya. Dewa menguasai unsur-unsur alam dalam kehidupan manusia sehingga mereka disembah oleh penganutnya.
Pada keseluruhan sajaknya Ko Hyeong Ryeol tidak mempersembahkan permainan bunyi rima akhir. Akan tetapi poin utama yang paling ditonjolkan olehnya yakni pada pemilihan diksi yang begitu apik di setiap kalimat dalam bait memuat perasaan yang hendak diungkapkan dan diekspresikannya. Selain itu penyair pandai dalam memaknai hal-hal yang dianggap sepele oleh kebanyakan orang menjadi sesuatu hal luar biasa yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Tak lupa penyair kerap kali menampilkan sajaknya melalui berbagai macam bentuk gaya bahasa seperti pemajasan hingga gaya retoris. Contoh bentuk penggunaan  gaya bahasa pada salah satu sajaknya yakni pada kutipan berikut: Di dalam tanah kentang mengaduh kesakitan sambil mengelus tapak irisan pisau ("Kentang", Ryeol, hlm. 16).
Kutipan tersebut menggunakan majas personifikasi karena membandingkan benda tidak bernyawa seolah-olah membuatnya hidup. Selanjutnya penyair seringkali menggunakan gaya retoris dalam bentuk repetisi pada sajaknya, ini dilakukan sebagai upaya penegasan suatu gagasan hingga sekadar penambah nilai estetika. Tak hanya itu penyair juga menyajikan rangkaian kata melalui imaji baik pencitraan melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, hingga pengecap. Lalu penggunaan Bahasa pada sajak-sajaknya didominasi oleh bahasa kolokial. Akan tetapi terdapat pula penggunaan istilah-istilah yang membutuhkan pemahaman khusus untuk mengetahui maksudnya. Berdasarkan paparan yang sebelumnya dijelaskan dapat disimpulkan bahwa buku ini sangat rekomendasi untuk dinikmati oleh berbagai kalangan. Terutama para akademisi sastra dan penikmat sastra, karena sajak-sajak dalam buku ini dapat dijadikan referensi pengetahuan untuk menciptakan sebuah karya di masa depan.***
(Aulia Shabrina Fitri, mahasiswi Jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia FPBS UPI Bandung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H