Senja hari ini berbeda dari kemarin. Rona-rona merah yang biasanya menghiasi ufuk barat, juga melatari gugusan pulau, kalah dengan gerombolan awan hitam. Angin yang mengobarkan nyiur-nyiur di sepanjang pantai, menari ria menyambut hembusan itu. Sementara itu, penisi dan ketinting yang masih melaju dengan sisa-sisa berbuih putih di belakangnya terburu-buru mendahului datangnya gelap. Bunyi mesin-mesin itu dikerahkan dengan maksimal. Â
Lukisan alam itu mengantar aku kembali ke 20-an tahun lalu. Usia masih bertulang rawan. Ayah mengajak aku mancing di pinggir kali dekat muara. Duduk di atas akar-akar bakau yang kokoh, Â melatih dengan sabar kendalikan pancingan.
Di situ pepohonan bakau bertumbuh subur dan menjadi rumah bagi ikan-ikan. Lele, gabus, belanak, punti, dan kakap menjadi target utama pancingan. Kadang pula, kepiting terpikat untuk ditangkap. Tak akan kosong jika pulang.
Teringat selalu pesan ayah saat itu. Ayah bilang: "jangan tebang bakau ini. Ini rumah bagi ikan, sarang bagi unggas. Bakau pun beri udara bersih dan menahan deburan ombak." Tanpa banyak tahu, aku ia kan saja katanya.
Mengenyam SD, setelah ditumpahkan beberapa pelajaran, aku paham, ayah tidak berbohong: bakau adalah rumah bagi sumber makanan warga. Bakau hasilkan apa yang tidak diberikan kebun dan hutan.
Hari-hari tertentu, ketika tidak berkebun, saat laut surut, mata ku berulang kali dibujuk oleh rombongan ibu-ibu yang menjinjing keranjang anyaman bambu atau daun pandan. Dari tengah suara keramaian mereka muncul panggilan khas: "mai ge ha de, mai ngo pese. [1]" Ibu-ibu yang masih dalam rumah menyahut, "gereng cekoen di ha. [2]"
Awalnya aku ikuti saja rombongan itu dengan teman-teman, tanpa membawa keranjang. Di bakau, baru aku sadari, mereka mencari keluka (kerang darah), ikan bandeng, ikan gabus, kepiting pada lubang-lubang kayu. Sambil belajar, tak ketinggalan, aku dan anak-anak kecil lainnya berebutan menangkap udang yang bermain-main di genangan air rawa-rawa bakau.
Masa-masa itu, meskipun tanpa uang, warga sepuasnya menikmati hasil-hasil laut. Anak yang merengek minta ikan, ia hanya diberikan pancingan dan di arahkan ke bakau.
Saat bulan hendak mati, ketika dangkalan laut surut dan mengering, ayah juga mengajari aku menombak ikan dengan kencai_sejenis tombak dengan tiga mata. Saat surut, lautan seperti berubah menjadi daratan. Pada daratan itu, terdapat kubangan-kubangan air yang berdiam ikan, kepiting, atau gurita yang terperangkap.Â
Atau, jika tidak mencari ikan, siput-siput laut akan menjadi target. Semuanya halal untuk dimakan_kecuali sejenis ikan_orang kampung menamainya powa atau ikan buntal. "Sekali-kali jangan tergoda, berbahaya nak. Itu maut," kata ayah berulang-ulang ketika melaut. Â
Sebelum pergi merantau dan bersekolah, ayah seperti menanamkan filosofi hidup, "hak ulayat nenek moyang kita bukan hanya daratan. Ulayat kita mencakup lautan. Jika tanah tidak memberi hasil, pergilah ke laut, di situ banyak makanan yang menunjang hidup. Begitu pula sebaliknya. Inilah alasan kita berdiam di pantai."
Lanjut ia berpesan: "kelak jika tanah tidak tersedia bagimu di daratan, jangan takut berdiam di laut. Itu juga rumah bagimu. Rawatlah isi yang berdiam di dalamnya." Â Â
20-an tahun berlalu, banyak perubahan terjadi. Aroma kampung telah menghilang. Kampung telah beranjak dewasa dan elok parasnya. Orang-orang pusat dan asing terpikat dengan daya tarik yang bersinar dari padanya. Aku yang kembali pun merasa terasing.
Tergoda dengan paras itu, berbondong-bondonglah mereka bangun rumah yang modelnya asing_di bibir-bibir bukit dan tebing, di pantai. Antara penghuni kampung dan pendatang tidak ada lagi batas, campur baur, tapi tidak mengenal satu dengan yang lain.
Kampung seperti amuba, membelah diri menjadi banyak perkampungan, yang menyambung satu dengan yang lain. Tidak dijumpai lagi jalan setapak, kambing dan babi juga berumah. Orang-orang pun enggan berjalan kaki. Katanya: kampungan.
Aku berjalan di sepanjang pantai yang lautnya telah surut, tanggalkan sandal, agar butir-butir pasir menusuk-nusuk saraf-saraf pada telapak. Amanat ayah dahulu: telapak kaki kita itu pusat saraf yang terhubung dengan bagian-bagian tubuh, jadi jika mau merawat saraf tersebut berjalanlah dengan kaki kosong.
Luka hati saksikan tumpuk-tumpuk sampah. Sepanjang pantai itu, plastik dan botol kaca bertebaran terdampar. Anjing-anjing warga yang kelaparan, mengais-ngais barang-barang itu mencari isinya. Di bawah pohon reo, ada tumpukan sampah yang tak habis dilahap oleh api. Aroma hangus bercampur bau busuk makanan yang tak sempat dilahap api, menyebar di sekitarnya.
Lalu aku terus berlangkah menuju dermaga kayu, penasaran dengan orang-orang yang duduk berdua, kadang bertiga. Semakin dekat, penasaranku semakin disembuhkan. Orang-orang itu sementara memancing.
BACA JUGA:Â Minotaur Labirin Labuan Bajo
Beberapa hari kemudian, rasa ingin tahu mendorong aku mencoba. Aku bersama seorang teman melangkahkan kaki ke pelabuhan. Dengan modal 10 ribu, sekantong ikan teri, kami jadikan umpan. Sepanjang malam duduk menanti ikan melahap umpan di kail.
2 jam berselang, senar teman mengencang seperti ditarik ikan. Wajah girang muncul, lalu dengan semangatnya ia menarik senar. Pupus. Yang didapatnya sepotong celana alas sobek. 5 menit kemudian, senarnya kembali mengencang, ia menarik senar itu dengan buru-buru. Lagi-lagi, yang didapatnya sampah, plastik kantong hitam.
Aku yang 2 meter jaraknya, terbahak-bahak, berkesan mengolok-olok perubahan gelagatnya dari senang menjadi gusar. Untung ia tidak maki. Memang pemali bagi pelaut untuk maki jika hendak memancing. Kata orang, awas roh-roh laut marah dan tidak berikan ikan untuk ditangkap.
Sampai subuh, tak seekor pun ikan yang kami tangkap. Saat hendak beranjak pergi, teman melemparkan ikan teri sekantong ke laut. Aku berkelakar, "kalau ikan teri tadi kita goreng bercampur tepung bumbu, pasti nikmatnya hilangkan kegusaran kita berdua." Ia hanya balas, "ikan juga butuh makan gratis, bebas jebak kail."
Sejak itu, aku putuskan tidak akan pancing lagi. Percuma! Ikan telah mengungsi. Rumahnya telah rusak. Airnya telah keruh. Pantai sebagai halaman, tempat berkeliaran ikan pohon-pohon bakau telah mati. Pun batu-batu terguling dari jalanan memenuhi pantai. Â Â
Apa ini namanya hidup yang anakronistis: menghalangi diri dari kemungkinan menggunakan akal, tidak mempertimbangkan cara hidup yang ramah lingkungan? Â
Keterangan:
1. Mari ikut, mari kita pergi menangkap/mencari ikan/siput/dll
2. Tunggulah sedikit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H