Mohon tunggu...
Aurelius Haseng
Aurelius Haseng Mohon Tunggu... Freelancer - AKU yang Aku tahu

Mencari sesuatu yang Ada sekaligus tidak ada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Batu-batu Biang Masalah Darah

3 Januari 2021   11:52 Diperbarui: 3 Januari 2021   12:14 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi warga Lolok, lingko itu hanya sebagai tempat melepas ternak, agar mencari makan sendiri dan jauh dari pemukiman. Kesaksian warga Lolok yang melepas kambing, katakan, bila berjalan di kaki perbukitan itu, akan terasa perihnya kulit, karena dipanggang oleh bebatuan dan panas matahari. Berpulang dari sanapun ditandai debu putih, menempel dari telapak hingga lutut, mirip seperti kaos kaki.

Meskipun demikian, tak ada yang pernah mencapai puncak Golo Lolok. Di sana dipercayai, berdiam ceki-ceki yang telah meninggal. Saat upacara adat di compang, mbaru gendang, atau teing hang, roh-roh itu akan dipanggil ke kampung. Ceki-ceki itu dipercayai akan makan makanan persembahan dari hati dan usus babi atau ayam kurban yang dibakar.

Bila ada yang melanggar, akan terlihat tanda-tanda aneh pada tubuh. Beberapa warga yang meninggal dan sakit tak wajar, mengakui hal itu. Dalam mimpi, mereka didatangi leluhur yang marah, karena mengganggu dan merusak kediaman mereka. Kepercayaan ini mengkramatkan Golo Lolok, sebagai hunian para leluhur. Cerita ini sudah selalu dituturkan turun-temurun kepada anak-anak saat upacara adat. 

***

dok. pribadi
dok. pribadi
Mulanya, warga Satar Lolok tidak tahu tentang nilai dari batu-batu itu. Semenjak Bertus mendampingi orang-orang PT ke kampung, warga pun sadar dan tahu, batu-batu itu bernilai. 

Batu-batu itu bisa menghasilkan uang. Batu-batu itu bisa mengubah kampung dan memberi yang mereka inginkan. Listrik, air minum, jalan beraspal, dan mobil untuk transportasi ke kota, akan menghiasi kampung mereka. Apalagi orang-orang PT menulis janji-janji itu pada kertas, yang akan penuhi semua tuntutan warga. Sejak itu, bagai menyebut abrakadabra, batu-batu itu dalam sekejap menjadi uang.

Tapi mimpi untuk menguangkan batu-batu itu tidak mudah. Lebih dari sebagian warga Satar Lolok tidak izinkan orang-orang PT menambang. Kelompok warga itu tidak mau, gara-gara PT, ceki-ceki di Golo Lolok akan marah, harus pindah rumah, compang dan mbaru Gendang dinodai, kuburan leluhur dicungkil, dan debu-debu berterbangan merusak asupan udara mereka. Apapun pilihannya, mereka tidak akan menjual warisan dan pindah dari Satar Lolok. Jika diteruskan, halaman kampung akan menjadi arena pertumpahan darah. Tali kekeluargaan akan putus.

Penolakan ini sangat berat bagi Bertus, karena ia sudah terima uang dari orang-orang PT. Dari diaspora luar daerah pun, terbentuk aliansi penolakan dan petisi pencabutan izinan. Penolakan paling besar adalah kelompok Gereja. Orang-orang Gereja menolak kehadiran PT, karena bertentangan dengan ajarannya.

Pemimpin Gereja dan jajarannya pernah merayakan misa di Kapel milik warga Satar Lolok, dan menanam pohon beringin di sana, simbol perdamaian dengan alam ciptaan. Gereja mengajak, agar warga tidak boleh menjual tanahnya. Karena hal itu sama dengan menjual martabat warga Satar Lolok.

Bertus tahu, dukungan Gereja ini sangat berakar di hati warga Satar Lolok. Warga lebih takut dengan Gereja, karena takut dengan kutukan, takut dengan neraka, takut tidak dimisakan saat meninggal, takut anak-anak tidak sambut baru dan permandian, pokoknya takut tidak dilayani dalam kehidupan menggereja. Ketakutan-ketakutan ini membuat warga Satar Lolok seperti orang lugu, yang tidak berani kritis dengan Gereja.  Alhasil, apapun permintaan Gereja, pasti akan mereka turuti.

"Membayar iuran tahunan untuk Gereja, tanpa pelayanan misa saja, mereka turuti, apalagi hal berhubungan dengan tanah". Pikir Bertus di hati kecilnya, saat duduk sendirian di belakang tenda dapur, pandangi arus muara Wae Pesi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun