Perkembangan media sosial yang sangat signifikan dari tahun ke tahun pada akhirnya membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia termasuk nilai profesi seseorang. Profesionalisme dalam karir para cendikiawan menjadi salah satu hal yang terdampak arus pergeseran nilai yang awalnya dipandang sebagai kasta yang tinggi karena sejuta ilmu yang dimiliki kemudian berubah menjadi profesi yang "biasa" saja karena pengetahuan yang instan bisa diperoleh dari sumber yang lebih mudah diakses yaitu media sosial.
Kemunculan profesi guru atau dosen konten creator dalam bidang Pendidikan menjadi salah satu aspek yang berdampak pada pergeseran kasta para cendekiawan karena kepopuleran mereka dalam membagikan pengetahuan melalui media sosial lebih banyak mendapat atensi dibanding pengetahuan yang diperolah pada kegiatan pembelajaran manual di kelas.
Faktanya belajar berbasis sosial media lebih menarik dibanding pertemuan dalam kelas. Urgensi akan penggunaan media sosial sebagai bahan mengumpulkan informasi dan pengetahuan juga menjadi salah satu factor pergeseran nilai profesi tersebut.
Banyak jenis media sosial yang dapat digunakan, dimulai dari pesan teks dari whatsapp, searching /googling, tiktok, Instagram, facebook, hingga menggunakan media sosial youtube yang dapat digunakan sebagai media belajar masa kini.
Hadirnya fenomena konten creator dunia pendidikan dalam media sosial tanpa disadari akan menambah deret panjang dunia kasta cendikiawan, bahkan identitas akan konten creator dunia pendidikan lebih berpotensi menciptakan diskriminasi sepihak secara berkepanjangan.
Hadirnya para konten kreator dunia Pendidikan dikhatirkan akan terus menggulingkan profesi cendekiawan yang mungkin tidak suka mentransfer pengetahuan melalui video atau tulisannya melalui konten-konten di media sosial yang kemudian dipublikasikan, sehingga boleh dianggap sebagai diskriminasi berkelanjutan terhadap kasta para cendekiawan tersebut.
Mengapa demikian? Fenomena yang saat ini sangat populer adalah karena konten pada media sosial lebih menarik untuk dijadikan sebagai sumber belajar jika dibanding dengan pertemuan-pertemuan dalam kelas yang lebih monoton. Konten kreator banyak menyajikan pengetahuan yang lebih menarik melalui konten-konten mereka meskipun terkadang isi yang dimuat masih subyektif. Hal ini karena pada dasarnya para konten kreator hanya haus akan personal branding mereka dibanding dengan fakta yang seharusnya dimuat dalam konten tersebut.
Dampaknya apa? Personal branding menjadi incaran utama dan fokus transfer pengetahuan menjadi yang dinomorduakan. Perlu dipahami Pendidikan bukanlah barang yang perlu disosialisasikan dengan cara pelabelan identitas. Pendidikan adalah proses mutlak penyebaran pengetahuan yang semata-mata harus berdasarkan fakta yang obyektif.
Parahnya lagi, bahwa pelabelan kepada para cendikiawan yang tidak membuat konten dalam media sosial dianggap sebagai mereka yang kurang transformative dan tidak mengikuti perkembangan jaman alias kuno.
Profesi konten creator dalam bidang Pendidikan perlu dipertanggungjawabkan profesionalitasnya karena beberapa hal seperti:
- Apakah isi konten sudah obyektif?
- Apakah konten tersebut diperoleh malalui pendekatan ilmiah?
- Apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah?
- Apakah isi dari konten bermanfaat?
Tantangan ini biasanya sering disepelekan karena focus konten creator hanya pada personal branding yang ingin dibangun, sehingga seharusnya perlu pembenahan dalam mempublikasikan konten pada media sosial terutama pada bidang Pendidikan. Sayangnya, perhatian pemerintah terhadap penyebarluasan informasi kepada publik yang dimuat pada media sosial terkadang terabaikan sehingga banyak konten yang tidak bermutu juga banyak bermunculan pada beranda media sosial kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H