Mohon tunggu...
Aufi Nabila
Aufi Nabila Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegawai bumn

Seorang mahasiswi Teknik Informatika yang hobi mengotak-atik komputer dan punya passion dalam hal tulis menulis namun baru mencoba untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[LombaPK] Upaya Menyelamatkan Aset Negara Melalui Restorasi

8 September 2016   19:36 Diperbarui: 8 September 2016   20:21 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
para tiga dara sumber : www.esquire.co.id

Teringat beberapa bulan lalu saya bersama nenek berbincang-bincang manja sebelum tidur. Melihat kulit tangannya yang keriput dan rambut yang sudah mayoritas putih mengundang rasa keingintahuan saya untuk bertanya bagaimana sih keadaan saat nenek muda dulu. Tidak ada bayangan bagi saya yang berumur 20 tahun ini untuk membayangkannya kecuali beberapa foto  keluarga yang terpampang rapi di dinding ruang tamu dan ada satu foto yang menarik pandangan saya untuk melihatnya lebih lekat yaitu foto hitam putih nenek tercinta saat masih belia. Rambut panjangnya yang dikepang rapi dengan style baju model kebaya ala tempo dulu seolah menggambarkan mayoritas perempuan belia jaman dulu yang terlihat ayu dan anggun.

foto nenek tempo dulu mirip Indriati Iskak kan hehe| sumber: dok pri
foto nenek tempo dulu mirip Indriati Iskak kan hehe| sumber: dok pri
Kalo beneran ada, kepingin rasanya punya mesin waktu untuk sekedar melihat-lihat keadaaan disana. Memperhatikan style pakaiannya, melihat jalanan yang orang-orangnya masih menjadikan sepeda ontel dan becak sebagai kendaraan utamanya dan merasakan udara yang masih bersih terhindar dari hiruk pikuk lalu lintas seperti sekarang ini. Nenek dengan sabar menjelaskan. Di umur yang sudah menginjak 75 tahun ia mencoba untuk menggali secuil memori yang masih mampu diingatnya.  

Dulu itu, anak gadis benar-benar dijaga sama orang tua. Ga boleh sembarangan keluar malam. Terlintas di benakku bagaimana soal perjodohan pada saat itu karena mengingat pacaran jaman sekarang yang bebas dan mencondong ke budaya barat. Kalo dulu gaada istilah pacaran tapi saling menjodohkan biasanya dijodohkan ke kenalan-kenalan atau ke keluarga jauh, nenek menambahkan. Penjelasan nenek yang panjang semakin bikin penasaran.

Ingin rasanya menyaksikan kembali film-film klasik yang diproduksi oleh Indonesia pada jaman dahulu. Namun masih menjadi problema karena pada jaman dahulu data film masih menggunakan gulungan pita celluloid yang berjumlah ratusan ribu frame, mengingat negara indonesia ialah negara tropis, pita-pita celluloid tersebut rentan terkena vinegar syndrome(sejenis penyakit kanker pada film), berjamur dan kerusakan lainnya yang diitimbulkan akibat termakan usia ditambah lagi dengan kurangnya perawatan mengakibatkan memburuknya kondisi pita aset negara tersebut sehingga menyulitkan kita untuk bisa menyaksikannya kembali.

Akhirnya SA Films mengabulkan keinginan saya sebagai generasi penerus untuk bisa menjadi saksi hebatnya perfilman jaman dulu dengan merestorasi film yang dirilis pada tahun 1956 berjudul 3 Dara garapan Usmar Ismail. Bagi kalian yang belum tahu restorasi, restorasi adalah pemulihan kembali ke keadaan semula.

Menjadi pekerjaan yang berat bagi SA Films untuk merestorasinya karena dibutuhkan waktu selama 17 bulan hingga menghasilkan film dalam format digital. Jika restorasi alias pemulihan tidak dilakukan maka hasil film yang diputarkan akan menghasilkan gambar yang berbintik-bintik, timbulnya garis-garis putih dan suara yang tidak jernih. Maka dari itu tahap demi tahap restorasi harus dilakukan.

Pertama-tama dicatat terlebih dahulu apa saja kerusakan-kerusakan di tiap frame yang berjumlah 165.000 frame tersebut. Selanjutnya frame di bersihkan satu persatu secara manual. Dibutuhkan teknik yang tepat dalam membersihkan kerusakannya seperti coretan, goresan, hingga bekas lem yang telah menguning. Sayangnya Indonesia masih belum memiliki teknologi yang lengkap sehingga proses restorasi fisik dan audio harus dilakukan di L'Immagine Ritrovata, Bologna-Italia dengan melibatkan 2 orang Indonesia yakni dua film maker Lintang Gitomartoyo dan Lisabona Rahman.

Setelah di bersihkan secara manual, pita di cuci menggunakan mesin untuk menghilangkan noda yang mungkin masih tertinggal, setelah itu pita kemudian di scan untuk diedit kembali menggunakan komputer. Pada proses inilah kecanggihan teknologi dimanfaatkan hingga dihasilkan gambar dengan format 4K (4 ribu piksel).

Selanjutnya dilakukanlah restorasi audio. Restorasi audio juga tidak kalah sulitnya karena suara yang ditimbulkan telah rusak. Bisa saja dilakukan proses dubbing tapi hal ini tidak boleh dilakukan. Untungnya film 3 Dara ini memiliki beberapa duplikat sehingga jika ada suara yang hilang bisa di sisipkan dari duplikat yang lainnya.

Setelah dilakukan restorasi fisik selama 8 bulan, kemudian dilanjutkan dengan restorasi digital di PT Render Digital Indonesia. Saat tiba di Indonesia, kondisi file sudah disuguhkan ke dalam format  4K. Tiap frame memiliki resolusi yang tinggi. Jika 1 Frame memiliki ukuran sebesar 50 GB. Tak heran jika total file yang diterima sebanyak 12 Tera. Wow !!! jumlah yang sangat fantastis !!

Proses restorasi ini diperkirakan memakan biaya sekitar 3 miliyar rupiah !

Film 3 Dara bukanlah satu-satunya film yang berhasil direstorasi. Sebelumnya ada 1 film karya Usmar Ismail yang berhasil direstorasi berjudul “Lewat Djam Malam” namun film 3 Dara menjadi film pertama Indonesia hasil restorasi yang di suguhkan ke dalam format digital 4K sehingga dihasilkan gambar yang tajam dan jernih.

Saya tidak menyangka pada awal kemerdekaan, Indonesia sudah menghasilkan karya-karya yang luar biasa padahal alat syuting belum secanggih sekarang namun sudah mengasilkan film-film yang berkualitas. Film 3 Dara menjadi film drama musikal pertama di Indonesia dan telah mendapatkan penghargaan di Festival Film Indonesia tahun 1960 kategori musik terbaik.

Film 3 Dara ini dibintangi oleh Chitra Dewi (Nunung), Mieke Wijaya (Nana), dan Indriati Iskak (Nenny). Disutradarai oleh Usmar Ismail untuk Perfini. Singkatnya film ini bercerita tentang sebuah keluarga dengan 3 orang anak perempuan yang masih lajang, ibunya telah meninggal dunia tinggal lah mereka bersama ayahnya (Hassan Sanusi) yang sibuk dengan urusannya sendiri dan sang nenek (Fifi Young) yang kerepotan mencarikan jodoh untuk cucunya.

para tiga dara sumber : www.esquire.co.id
para tiga dara sumber : www.esquire.co.id
Hal inilah yang menjadi keunikan tersendiri di film ini. Di umur yang sudah tua sang nenek ingin sekali melihat pernikahan cucu pertamanya. Karena pada jaman dahulu tumbuh adat kalo anak pertama harus nikah duluan, makanya adik-adiknya ikut kerepotan dalam mencarikan jodoh untuk sang kakak. Ditambah lagi sang kakak yang gak suka keramaian.

Akhirnya ditemukannya calon suami. Namun calon suami itulah yang kemudian menjadi rebutan dua dari tiga dara dimana si bungsu Neni berkomplotan untuk menyelesaikan konflik. Konflik inilah yang semakin menambah menarik cerita dari Tiga Dara ini.

Pada masanya, “Tiga Dara” sangat sukses ditayangkan selama delapan minggu berturut-turut di seluruh Indonesia dan menjadikannya sebagai film terlaris pada masanya. Film garapan Usmar Ismail ini juga menjadi tren sosial dan budaya yang memberi pengaruh pada kehidupan anak muda kala itu.

Mengapa restorasi perlu dilakukan ?

Seiring berkembangnya teknologi, terjadilah perpindahan teknologi dari analog ke digital. Film klasik yang dikemas dalam bentuk pita celluloid ini ikut terbawa arus migrasi. Sehingga aset negara  perlahan-lahan ditinggalkan dan ikut hilang seiring berjalannya waktu.

Kita sebagai penerus bangsa berhak untuk tahu sejarah negara sendiri.  Maka dari itu sudah sepatutnya dilakukan upaya penyelamatan aset negara sebelum benar-benar punah dan jangan sampai generasi penerus tidak bisa menikmati kembali aset negara yang sangat beharga tersebut.

Kabarnya telah hadir sebuah film arahan Nia Dinata berjudul ”Ini Kisah 3 Dara“ yang tayang di bulan September ini. Judulnya memang mirip dengan film karya Usmar Ismail ini. Namun Nia Dinata mengatakan bahwa film yang ia garap ini berbeda dengan film yang buat pada tahun 1956 itu. Ia terinspirasi oleh film yang pernah sukses pada masanya itu. Daripada penasaran mending langsung meluncur aja ke bioskop kesayangan anda :))

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun