Mohon tunggu...
aufa ubaidillah
aufa ubaidillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - pecinta kuliner

hobi membaca menulis dan mengamati manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghadapi Titik Nadir Kehidupan

9 Desember 2016   15:14 Diperbarui: 4 April 2017   16:30 5520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agaknya diantara kita pernah berada dalam posisi tersebut. Titik nadir adalah titik paling rendah, titik dimana rasa "Manusia" itu perlu dipertanyakan. Manusia adalah kreasi Tuhan yang begitu unik dan spesial. Selain dibekali perangkat otak untuk berfikir, juga dibekali hati yang mempunyai perasaan. Bagaimana jadinya jika kita, sebagai manusia merasa kerja otak kita  tidak maksimal, sulit untuk berfikir jernih, hati terasa mati, sulit merasakan apalagi menikamati kehidupan sehari hari. Padahal fitrahnya manusi dilahirkan secara bebas, telanjang tanpai pakaian, berkreasi tanpa batas.

Jika dia pegawai, akan merasakan kejenuhan yang luar biasa hebat, karena rutinitas. Jika dia pejabat, dia akan merasa lelah dan putus asa karena dituntut untuk selalu melayani. Jika dia artis, frustasi akan mendera karena sangat sulit menemukan privasi untuk keluarga dan diri sendiri.

Jika dia penikmat kehidupan bebas, akan merasa lelah mencari dan terus mencari hulu dari segala keinginannya. Jika dia aktivis, akan tiba masa bahwa aktivitasnya terasa hambar, ingin sesuatu yg nyata, bukan sekedar kata. Jika sadar bahwa dia diciptakan sebagai manusia seutuhnya, dia akan pasrah terhadap nasib setelah perjalanan jauh nan melelahkan yang tak kunjung membuahkan.

Sebenarnya sih, tidak ada sesuatu yang benar benar enak, nikmat, tanpa batas, dan sempurna.

Yang ada hanya, "kamu lebih enak ya", "masih enakan kamu", "andai aku menjadi"...."aku akan".....Dan saling membayangkan.

Sebagai makhluk yang unik, manusia mempunyai banyak sekali cara untuk menemukan solusi terbaik. Namun tak jarang, sangat sulit menentukan dan memilih solusi yang cocok karena lumpuhnya otak dan perasaan.

Tulisan ini pun saya tulis, ketika merasakan titik nadir sebagai karyawan. Bosan, lelah, jenuh, semangat padam, seakan waktu berjalan merayap 1 tahun lamanya hanya untuk sekedar menunggu tanggal muda. Lalu, apakah dengan menulis saya akan dapat kembali fit lagi! Jawabannya tentu tidak.

Saya pribadi memahami titik nadir hanya sebuah fase pikiran dan hati. Baik buruk keadaan yang kita alami, itu hanya terjadi di dalam alam fikiran dan perasaan. Tentu, jika melihat keadaan sekitar, teman sekantor, orang lain yang juga bekerja, mereka baik – baik saja, tampak baik, dan sudah bukan urusan saya untuk mengetahui perasaan mereka, yang penting terlihat baik, titik.

Dalam perenungan saya, sebenarnya titik nadir hanyalah luapan dari sistem yang mengatur pola fikir dan perasaan secara sistematis dan terus menerus. Dan ini sangat menyalahi kodrat naluri manusia, yang selalu ingin bebas berkehendak dan berkreasi. Sebagai pekerja, saya sadar bahwa jiwa dan raga terlalu diatur harus tunduk kepada hukum dunia. Perlulah sesekali waktu diberi keleluasan untuk melepaskan semua belenggu itu.

beberapa cara menurut pengalaman pribadi menghadapi titik nadir, semoga bermanfaat:

Menerima

Menerima di sini berarti kita berusaha untuk tidak melawan keadaan, ikuti saja alurnya. Nikmati kepusingan kita, jengkel, dan jenuh kita. Dengarkan alunan nada sumbang dari bos atau rekan kerja yang membicarakan kita, anggap saja sebagai radio rusak, cukup dimengerti bahwa jika batreinya habis radionya akan mati.

Hobi

Lakukanlah hobi yang sudah sering ditinggalkan. Jika anda sudah tua Tidak perlu malu untuk bermain Games, jika memang hobi. Berenang, ngopi, nongkrong, atau sekedar pergi sesuai kehendak hati. Berilah hati dan fikiran kebebasan untuk  menentukan semuanya.

Menulis

Memang, tidak semua orang hobi menulis, lebih banyak yang hobi bercerita. Menulis dan bercerita sebenarnya sama, hanya berbeda alat, jika bercerita dengan mulut tetapi menulis dengan tangan.

Kenapa harus menulis, dan bukan bercerita! Karena dengan tulisan mampu mengungkapkan perasaan yang sulit untuk diucapkan, tulisan juga mengandung daya imajinasi yang lebih luas dari sekedar bercerita. Tidak jarang satu kata bisa mewakili 30 menit bercerita. Menulis puisi contohnya, atau opini, pengalaman, dan lain lain.

Keputusan

Ini yang saya lakukan, jangan pernah memutuskan secara sepihak jika dalam posisi titik nadir. Pada titik ini, seperti saya bilang, otak dan hati tumpul, sulit untuk mencari solusi baik ataupun pilihan tepat. Jika anda karyawan, jangan langsung minta resign, diamkanlah sejenak. Cooling Down dulu, biarkan sedikit stabil. Jika otak dan hati sudah terasa tenang dan stabil, anda pasti sudah mulai bisa lagi untuk berhitung dan memikirkan keputusan yang paling tepat.

Manusia memang dilahirkan sebagai ciptaan yang diberi kebebasan untuk memilih. Pilihlah yang terbaik untuk diri anda sendiri, dan yang The Best bukan berasal dari orang lain, melainkan dari dalam diri sendiri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun