Mohon tunggu...
Aufal Marom
Aufal Marom Mohon Tunggu... Teknisi - Influencer

Pria berkelahiran di Kab.Tegal , 06 Juni 2002 , sudah menempuh pendidikan baik formal maupun non formal , tumbuh dilingkungan yang sehat yang mengedepankan norma-norma sosial dalam berkehidupan. Gemar membaca dan sesekali menulis dalam beberapa literatur yang ada seperti artikel bebas , blog , dll.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Selektif Informasi di Era Post Truth

10 Maret 2022   23:15 Diperbarui: 10 Maret 2022   23:25 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak sekali model atau pola mengenai penyebaran arus informasi di era modern seperti saat ini. Salah satu yang booming dipenghujung tahun 2021 adalah mengenai era post-truth . Istilah post-truth atau pasca-kebenaran digunakan secara luas untuk mendefinisikan cara masyarakat modern mengonsumsi dan menyikapi informasi. 

Diskursus mengenai pola post-truth sudah ada dan berkembang kala kerajaan romawi kuno, sampai pada sejarah besar mengenai propaganda nazi pada perang dunia kedua. 

Sebagai konsep, post-truth mulai dibicarakan seiring dengan berkembangnya internet dan media baru, yang menantang dominasi media massa sebagai kanal informasi. 

Jika ditelisik lebih dalam banyak makna yang terkandung didalam diksi port truth itu sendiri. Salah satu makna tersirat dari konsep post-truth sebagai era kebenaran, sesungguhnya adalah masa keemasan media massa: era seratus tahun ke belakang sebelum internet mulai dominan, ketika informasi didominasi oleh media cetak, radio, dan televisi. Sebutlah era ini Rezim Media Massa. 

Mengenai konsep tersebut, diperlukanlah pemahaman yang secara eksplisit dapat memback up  mengenai pola-pola informasi di era modern sekarang, agar tidak terjadi disorientasi akan informasi yang beredar di masyarakat luas. Informasi yang tadinya disebarkan melalui satu pintu oleh media massa dan pers, kini disebarkan secara jauh lebih bebas di media baru. 

Pers bukan lagi gatekeeper, karena media baru dan internet telah menjadi gatekeeper baru di dunia yang jauh lebih terbuka. Akibatnya segala informasi dapat masuk secara bebas dan memenuhi jejaring media sosial diseluruh dunia hanya dengan media seluler.

Bagaimana untuk menyikapi itu semua ? 

Perlu diketahu bahwasannya persoalan mutu informasi diera post-truth tentu akan berkaitan dengan bagaimana media arus utama menyajikan pemberitaan. Banjir informasi diera revolusi digital memang tidak bisa dihindari. Persoalannya hari ini bukan pada bagaimana masyarakat mendapatkan informasi, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang diterima.

Media arus utama mempunyai tanggung jawab besar dalam merekonstruksi pola pikir masyarakat dengan produk jurnalistik yang lebih berkualitas. Kasus pemilu di Amerika pada tahun 2016 menjadi pembelajaran bersama, statement kebohongan Donald Trump yang disebarkan media semakin membuat namanya naik. Kasus ini hampir sama dengan klaim kemenangan Prabowo kala pemilu tahun 2019 di Indonesia melalui polling cepat. 

Walter Lippman  Public Opinion (1921) menuliskan, opini publik merupakan jalinan antara sedikit fakta yang dicampur imajinasi dan kemudian diyakini sebagai kebenaran atau realitas sesungguhnya. Opini publik melibatkan realitas yang tak sempurna dari sebuah keadaan seutuhnya. Lippman menyebut istilah ini sebagai stereotip. Kalau anda saat ini sedang meyakini jika orang batak cenderung kasar, maka anda sudah masuk ke dalam orang yang terpengaruh stereotip ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun