Nasrun Panjul kedatangan tamu. Raut mukanya bahagia, sebab ia membawa kabar tentang anaknya yang baru saja keluar lahir dari rahim istrinya. Lek Darmo, namanya.
"Mas Panjul, saya minta nama dari panjenengan untuk anak laki-laki saya. Sekalian doa untuknya agar ia bahagia di kemudian hari," pintanya kemudian.
"Saya turut bahagia, Lek Darmo. Tak cukup doa agar anak2mu bahagia kelak. Tapi doakanlah agar anak-anakmu mampu membahagiakanmu kelak," kata Panjul sembari membenahi temoat duduknya.
"Kenapa bisa begitu Mas Panjul," tanya Lek Darmo.
"Bahagia kita ini masihlah bersifat sementara. Sebab banyak kita yang  berbahagia karena orang lain tak sebahagia kita," tutur mas Panjul.
"Bahagia kita masihlah semenjana, sebab kita masih iri karena kebahagian kita kadang dipangkas perasaan karena kita merasa belum sebahagia mereka," lanjutnya kemudian.
Dahi muka Lek Darmo mengkerut. Berpikir keras.
"Lalu kebahagian apa yang abadi, mas?" tanyanya kemudian.
"Bahagia, sebab mampu membahagiakan orang lain. Harta tak kan pernah cukup, tapi kehadiran Lek Darmo ke sini dengan kabar berita sumringah, meski tanpa buah tangan, membuat saya berbahagia lebih dari segalanya," kata mas Panjul.
"Lek Darmo mampu membahagiakan saya dengan kabar berita bahagia. Itu nikmat sarapan pagi yang luar biasa yang Lek Darmo berikan kepada saya hari ini," lanjut mas Panjul.
Lek Darmo tersenyum.
"Doakan anak-anakmu kelak mampu membahagiakan dirimu sebagai orang tua, dengan mengajarkannya tatacara menyukuri nikmat-Nya."