Malam telah lewat dari dua pertiganya. Pertanda subuh hendak datang menyambut.
"Anakku," putri Probodinabar terkaget dari kantuknya yang sangat, mendengar suara ayahnya memanggil.
"Injih Kanjeng Romo," kata putri bungsunya menyahut.
"Saya ingin sekali shalat subuh di masjid bersama anak dan muridku. Sudah beberapa hari ini ayahmu ini melewatkan shalat jamaah," kata Ja'far Shodiq pelan.
"Tapi kanjeng Romo," belum selesai ia meneruskan, Sunan Kudus melanjutkan bicaranya.
"Panggilkan ananda Pangeran Pontjowati, juga dua kakakmu Pangeran Panembahan dan Mekaos," pintanya.
Bergegas tiga orang yang dipanggil segera menghadap. Memenuhi permintaan pemimpin panatagama kerajaan Demak itu.
Jamaah masjid yang sedang mendaras Al-Quran itu terkaget dengan kedatangan Sang Sunan yang ditandu perlahan, di bawah obor yang bergoyang tertiup angin fajar.
Tak lama kemudian, azan pun berkumandang dari puncak menara. Panembahan Kudus, putra tertua Sunan Kudus didaulat menjadi imam. Sementara Sunan Kudus sendiri memilih berada di ujung shaf pertama ditemani Pangeran Pontjowati.
Yang disebut terakhir sebenarnya adalah anak dari keluarga terpandang dan terhormat di Kudus. Semenjak masuk Islam, ia lebih memilih menjadi abdi dalem  Kangjeng Sunan. Merawat dan menemani gurunya kemanapun pergi.
Muasal keislamannya berawal ketika Sunan Kudus, dalam sebuah majlis agung, melarang penyembelihan Sapi di seluruh selatan lereng Muria. Sapi, baginya waktu itu, adalah hewan yang sangat dihormati oleh keluarga besarnya saat belum berpindah keyakinan.