Mohon tunggu...
ilham aufa
ilham aufa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta, Penulis Lepas

Masih Belajar dan Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agar Selamat dari Lautan Manusia

6 Juli 2017   10:32 Diperbarui: 6 Juli 2017   15:22 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Wifaq, Pemeran utamanya sudah gede, paling kanan pakai sarung. (Dokumen pribadi)

Ini cerita masa lalu, yang secara tak sengaja mucul di tengah2 canda nostalgia lebaran. Diceritakan kembali oleh kakak saya. Saya memanggilnya Mas Wifaq.

Saat itu, ayah saya almarhum Ahmad Muhyiddin, bersama dengan rombongan Kiai NU dari Kudus turut serta memeriahkan Muktamar NU ke-26 di Semarang. Kalau melihat kalender pelaksanaan Mukmatar Semarang, kejadiannya di sekitar tanggal 5-11 Juni 1979. Saya saat itu masih balita dan tidak diajak turut serta.

***

Seperti halnya mukmatar NU lainnya, pelaksanaan acaranya selalu meriah, penuh dengan suasana kerakyatan. Ada berbagai festival budaya dan juga rame-rame kumpul para pencari berkah Kiai. Tumplek blek. Ribuan manusia kumpul di satu titik.

Diceritakan, sampai bau minyak wangi arab yang sedemikian tajam pun tak lama berefek, berganti keringat panas para pengunjung. Basah dan, tentu saja, apek.

Adalah di satu acara inti, dimana sedang ramai-ramainya, rombongan ayah saya terjebak di tengah lautan manusia. Maju tak bisa, mundur pun tak bisa. Kakak saya yang berusia sepuluh tahun ikut terhimpit di dalamnya. Teriak untuk membuka jalan, sama sekali tak dihiraukan. Mau minta pengertian dengan pengunjung lain, rasanya sia-sia.

Adalah siasat dari Ayah saya dan dikerjasamakan dengan rombongan Kiai Kudus yang turut terjebat di dalamnya agar bisa segera keluar dari keberdesakan. Turut serta di dalamnya KH Sya'roni Ahmadi.

Siasat itu melibatkan kakak saya yang belum akil balig agar memejamkan mata. "Jangan buka mata sama sekali, sampai ada perintah. Ini penting, agar bisa selamat dari lautan manusia," pesan ayah saya dan beberapa Kiai lainnya kepada kakak saya.

Maka, sesaat setelah memejam mata, tiba-tiba kakak saya diangkat bareng-bareng. Bersamaan dengan itu,  berteriaklah rombongan Kudus lainnya.
"TOLOOOONG. ADA ANAK KECIL PINGSAN. TOLONG BUKA JALAN. ANAK KECIL PINGSAN,".

Para panitia, termasuk di dalamnya Banser tiba- tiba hadir dan sigap di tengah tengah, membantu evakuasi sampai ke tenda panitia. Maka serta merta terbelahlah lautan manusia itu seperti halnya lautan merah dibelah Nabi Musa. Memberi jalan leluasa terhadap rombongan yang membawa anak kecil yang pingsan itu.

Sampai di tenda yang teduh, kakak saya masih memejamkan mata. Perintah tak membuka mata masih dipegangnya erat.

Di dengarnya, panitia masih bertanya-tanya kepada ayah saya dan rombongan Kudus apa yang terjadi. Entah sandiwara apa yang lagi dilakukan ayah saya dan rombongan, demikian pikir kakak saya.

Tiba-tiba, mulut kakak saya di buka dan meluncurlah cairan super asam. Jeruk nipis !!!
Berteriaklah kakak saya dan serta merta membuka mata. Bersamaan dengan terbukanya mata, meledaklah tawa seluruh ruangan. "Terima kasih ya Nak, kamu menolong kami dari himpitan-himpitan manusia di sana," bisik seseorang ke kakak saya. Kakak saya yang masih lugu itu cuma terbengong. [ ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun