Mohon tunggu...
ilham aufa
ilham aufa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta, Penulis Lepas

Masih Belajar dan Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Out of The Box" versi Anak

21 September 2016   09:48 Diperbarui: 21 September 2016   10:09 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Saya selalu berusaha mengasah otak dengan selalu berpikir out of the BEX”, kata Cak Lontong dalam sebuah acara.

Peserta terkecat dengan istilah tersebut. Diam, penuh dengan kebingungan.

Out of the BEX?? Apa maksudnya cak?” tanya seorang peserta memberanikan diri.

“Itu loh, berpikir cerdas dan selalu berbeda dengan yang lainnya,” terang Cak Lontong.

“Ealaaaah, out of the BOX,” cekat sang pembawa acara.

“Lah, kalau pakai istilah out of the BOX, apa bedanya pemikiran saya dengan anda-anda sekalian?” katanya.

***

Meski sore macet luar biasa adalah keseharian yang menyebalkan, “pulang” tetap menjadi urutan pertama pilihan para pekerja di Jakarta. Di dalam kata pulang, ada istri yang menanti, ada wajah anak-anaknya yang riang dan menggemaskan. Ada rasa yang dirindukan, ada keceriaan yang dinanti-nantikan.

Ya… keluarga adalah obat pelipur lara dalam kepenatan. Dengan mereka, suara hati lepas tanpa sekat. Bersama mereka, lebur kepenatan seketika.

Meski bukan orang yang terpaku dengan jam kantoran, saya juga kurang lebih sama dengan mereka dalam menyikapi kata pulang. Istri dan anak menjadi pembahagia. Menjadi obat saat ranah pikiran di rundung masalah.

Yang utama dalam menu kerinduan dan keceriaan tentu saja bercanda. Istri dan anak adalah penikmat pertama candaan-candaan itu. Mereka jualah yang sering menjadi korban pertama dari candaan-candaan itu. Baik dalam masalah ringan maupun masalah yang kadang dianggap berat. 

Istilah “kadang dianggap berat” merujuk pada pemahaman terhadap masalah dari sudut pandang berbeda antara suami dan istri. Kadang kala, ada kejadian yang menurut saya cukup berat, tetapi dalam pandangan istri dianggap sebagai masalah biasa saja. Kejadian lainnya, ada kalanya sebuah masalah dianggap berat oleh istri, namun oleh saya masuk kategori masalah yang tidak perlu diseriusi.

Pada kejadian yang pertama, saya selalu mengalah dan mengikut pandangan istri dengan menganggap masalah itu tak perlu menjadi beban berat. Ia pun mengajak bercanda untuk memperingan masalah saya.

Tetapi jangan coba-coba untuk kejadian kedua, saya cuma mengikuti teori klasik bahwa istri tak pernah salah. Setidaknya, tampakkan keseriusanmu menanggapi masalah yang dihadapi istri, meski engkau menganggapnya hal biasa. Jangan pernah mengajak bercanda dengan masalahnya.

***

Lain halnya bercanda dengan anak. Dalam keseharian, saya selalu berusaha untuk memberikan sugesti berpikir lebih melalui candaan-candaan ringan. Lebih cenderung untuk mengajak berpikir out of the box. Misal contoh candaan kami, 

#1 = anak pertamaku dan saya

Pa, belanja ke indomaret yuk/

Indomaret sudah tutup, nak/

Ini khan masih jam delapan malam, pa?/

Tapi, nak. Bulan Maret sudah lewat. Ini sudah masuk April. Adanya Indoapril/

(anakku kemudian diam)


#2 = saya dan anak pertamaku

Pa, kue apa yang tengahnya tidak bisa dimakan/

Donat/

Papa pinter, terus donat apa yang tengahnya bisa dimakan/

Apa ya, nak?/

Kue donat yang ditambahin coklat di tengahnya/

Lha kok bisa ada coklat di tengahnya?/

Ya terserah aku dong mau nambahin coklat di tengahnya /

(kini aku yang dibikin diam)


#3 = saya, anak pertama dan istriku

Saya : Nak, apa yang besar dari gajah?

Anak : Perutnya/

Saya : Salah, Rumahnya/

Sesaat anakku diam. 

Kemudian ia bertanya pada istriku yang ada di dekatku.

Anak : Ma, apa yang besar dari gajah?/

Istri : Kandangnya (berharap benar dengan meniru jawabanku tadi)/

Anak : Salah, Pabrik yang bikin kandang gajah/

(Aku tertawa, istriku diam)


Terlalu sering bercanda sebenarnya tak diperbolehkan. Ini agar anak bisa membedakan waktu serius dan waktu senggang. Maka, ketika bahan candaan sedang tak tertata rapi dalam pikiran anak, out of the box menjadi berantakan. Yang keluar dari mulut si anak justru ngeles untuk menolak ajakan/perintah dari orang tuanya.

#4 = saya , istri dan anak keduaku

Jumat, Pukul 11.30 WIB, saya melihat anakku asik bermain game. Di rumah lantai 2.

Saya : Nak, jumatan yuk

Anak : Badanku masih anget, pa

Memang anakku sejak semalam badannya agak hangat. Aku minta ia tidur

Setelah agak lama saya keluar untuk sholat jumat, istriku naik ke lantai 2. 

Istri : Nak, kok ga mau diajak papa sholat Jumat

Anak : Tadi papa gak ngajak, kok

Setelah saya pulang jumatan. Sekarang kejadiannya di rumah lantai 1.

Saya : Lho katanya tadi anget, kok malah main youtube

Istri : (Heran dengan pernyataan saya) Kok tadi bilangnya ke aku ga diajak papa. Bukan anget. 

Anak : Aku takut ngantuk di masjid, pa, ma…

(Istriku diam. Aku juga)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun