Jokowi sepertinya mulai mengetahui bahwa kekuatannya telah terkuras hanya untuk mengurus kisruh KPK vs Polri. Padahal persoalan-persoalan bangsa lainnya telah menanti untuk diselesaikan. Janji-janji saat kampanye tidak akan mampu dilunasi jika perhatiannya hanya berkutat pada konflik politik yang kian hari makin pelik, sementara realisasi janji-janjinya sangat diharapkan jutaan rakyat dari Sabang hingga Merauke.
Jokowi mungkin telah memahami bahwa kehendak koalisi pendukungnya bertolak belakang dengan aspirasinya. Gagasan-gagasan brilian untuk yang ingin dicapai melalui konsep nawacitanya terlupakan karena berbagai tekanan para elit. Ide-ide cemerlang yang hendak direalisasikan lima tahun mendatang tersandera oleh intervensi pendukungnya sendiri.
Jokowi barangkali sangat menyadari bahwa dirinya terlalu tunduk kepada seorang ibu yang telah membesarkan sosoknya hingga mampu menjadi pemimpin jutaan umat manusia dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia. Loyalitas yang terlampau berlebihan membuatnya cukup sulit untuk keluar dari hegemoni titisan marhaen Soekarno. Sehingga dia menjadi tidak peduli dengan agitasi Megawati.
Perubahan Konstelasi Politik
Belakangan muncul gejala-gejala anti-Megasentris di dalam hari-hari Jokowi ke depan. Anomali sejumlah peristiwa mengindikasikan adanya upaya Jokowi untuk keluar dari bayang-bayang KMP, Koalisi Mega Paloh. Nampaknya beragam gejala yang tidak biasa dan tak terduga itu sekaligus menjadi pertanda bahwa konstelasi perpolitikan tanah air kemungkinan segera terjadi perubahan.
Tanda-tanda adanya upaya Jokowi untuk keluar dari tekanan koalisi pendukungnya dapat dilihat dari pembentukan tim 9. Jokowi hendak menunjukkan kepada publik bahwa pemerintahannya netral dari intervensi pihak manapun dalam penyelesaian polemik KPK dan Polri. Oleh karenanya, dia membentuk tim independen untuk menyelesaikan konflik yang sarat dengan nuansa politis itu.
Rekomendasi dari tim bentukan presiden untuk membatalkan pelantikan Budi Gunawan (BG) berlawanan dengan aspirasi koalisi pendukungnya. Hal itu seolah-olah menjadi bukti bahwa tim tersebut benar-benar bebas dari kepentingan pihak-pihak yang telah berusaha menyetting laga el classico, cicak vs buaya. Meskipun begitu, hingga kini masih menyisakan persoalan apakah nantinya presiden betul-betul akan menuruti rekomendasi tersebut atau malah menghiraukannya?
Tanda-tanda lainnya juga bisa dibaca dari pertemuan Jokowi dengan Prabowo beberapa waktu lalu. Keduanya yang dulu sempat bersaing memperebukan RI satu seolah kini menjadi mitra baru. Rivalitas keduanya yang sempat memanas pasca Pemilu seakan mencair dengan sendirinya seiring kemesraan mereka di Istana Negara.
Peristiwa itu disinyalir merupakan bentuk komunikasi politik Jokowi untuk menggalang kekuatan dari koalisi Prabowo. Apalagi santer terdengar Jokowi akan segera menggelar pertemuan dengan para petinggi pendukung Prabowo. Dominasi Koalisi Merah Putih (KMP) atas Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di legislatif sangat berpengaruh, sehingga Jokowi membutuhkan dukungan untuk memperlancar kebijakan eksekutif.
Dari situ muncul semacam indikasi yang memungkinan adanya rotasi koalisi pemerintah. KMP akan menjadi pendukung presiden, sementara KIH bakal menjadi penentang presiden. KMP yang awalnya menjadi musuh pemerintah akhirnya justru menjadi teman presiden. Adapun KIH yang sebelumnya menjadi kawan pemerintah nantinya malah menjadi lawan presiden. Hal tersebut tentu saja bukan tidak mungkin terjadi mengingat dalam dunia politik yang berlaku adalah adagium “tidak ada lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan”.
Membaca Strategi Politik Lawan
Sayangnya, saya menilai hal itu bukanlah upaya konsolidasi untuk menjadi partner yang harmonis dan sebagai mitra yang strategis. Melainkan hanya merupakan taktik politik agar selain bisa menguasai legislatif, mereka juga mampu mengendalikan eksekutif. Taktik yang ditunjukkan ke publik tentunya dengan komunikasi politik yang seolah-olah baik namun ternyata licik.
Bisa dipastikan bahwa KMP tidak mungkin mau terus-menerus menjadi pengritik penguasa. Karena dengan berada di posisi demikian tidak akan menguntungkan dan justru semakin mencoreng nama mereka di mata publik. Akan tetapi KMP menginginkan untuk menjadi penyetir pemimpin. Sebab dengan begitu berbagai macam kepentingan mereka yang tertunda setidaknya dapat diupayakan jika bergabung dengan pemerintah.
Jokowi tengah terombang-ambing di persimpangan jalan dan dituntut untuk menentukan arah langkahnya. Jika melangkah mundur, kemungkinan dia tertabrak lagi oleh kepentingan kawan. Bila melangkah maju, bisa dipastikan akan terlindas oleh keinginan lawan. Jokowi perlu berkomunikasi dengan keduanya agar tidak menyeretnya untuk memenuhi kepentingan kawan dan mengikuti kehendak lawan, namun untuk bekerja sama membantu mewujudkan janji-janjinya dan memenuhi harapan rakyat. Be carefull, Jokowi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H