Mohon tunggu...
Muhammad AudyaR
Muhammad AudyaR Mohon Tunggu... Petani - Belajar Menulis

.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

7 Kitab Kuna Pembawa Perubahan Beragama

17 Mei 2020   00:41 Diperbarui: 17 Mei 2020   00:52 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Di pematang sawah, padi sudah berwarna kuning,  kiri-kanan  terlihat sejumlah pria dan wanita, muda, tua sedang asyik beraktivitas di bawah terik sang surya, melolong anjing milik mereka yang waspada akan kedatangan wajah-wajah baru. Sepanjang jalan terlihat sebuah pemukim, orang-orang lalu-lalang bergantian memasuki kawasan tersebut seraya berbisik tentang kedaan di dalam sana.

Sekeliling pohon-pohon, sebelah candi, dalam ruangan museum tampak berderet rapi terkurung kotak  kaca sebuah teks aksara Arab, pegon atau aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa sudah usang di makan waktu. Lembaran dari lapisan luar batang pohon tidak utuh, tetap terkandung faedah bagi umat yang tidak runtuh, juga  saksi bisu dari cerita yang tidak berbicara.

Tersimpan wujud tanda penyebaran Agama Islam, Kitab Khotbah Idul Fitri, Kitab Idul Adha, Kitab Fiqih, Kitab Ilmu Alat, Kitab Ilmu Tauhid dan Kitab Al-Qur'an 30 Juz berumur ratusan tahun. Namun semua isi kitab terdapat beberapa gabungan-gabungan seperti Kitab  Fiqih dengan kumpulan do'a-do'a, juga dalam satu kitab memiliki judul dua, tiga, sampai empat. Semua itu masyarakat terapkan dalam menjalani kehidupan dengan cara selalu mengadakan tawasul dan mendo'akan kebaikan kepada leluhurnya.

Mulai terjadi perubahan keyakinan masyarakat Agama Hindu menjadi Agama Islam setelah datang panglima perang kerajaan dari Mataram yang gagal mengusir tentara VOC ke Batavia bernama Embah Dalem Arief Muhammad. Karena khawatir mendapat sanksi dari kerjaan beliau memutuskan untuk bersinggah di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut Jawa Barat.

Terdapat dua bukti peninggalan perubahan agama yang terjadi pada saat itu berupa arca Dewa Syiwa dan makam Arief Muhammad saling berdampingan sebagai bentuk toleransi masyarakat dalam menganut agama. Sebelum ada bangunan candi masyarakat Adat Kampung Pulo tidak mengetahui, namun setelah datang ahli arkeolog islam meneliti lebih jauh baru diketahui.

"Waktu pencaharian batu-batu candi yang berserakan hanya 40%, nah yang 40% itu juga sudah dipakai nisan kuburan karena masyarakat tidak tahu ada candi," kata Umar (40) selaku wakil sesepuh adat dan juru pelihara museum generasi ke-9

Untuk memastikan asal-usul  keturunan  beliau darimana  dan sempat menjadi panglima perang kerajaan Mataram ada dalam buku yang sekarang berada di Keraton Cirebon karena cara ajaran islam yang diterapkan kepada masyarakat Candi Cangkuang mengikuti jejak  sesuai dengan Sunan Gunung Djati.

Candi Cangkuang adalah tempat khusus bersembahyang dan peristirahatan raja sekaligus peninggalan Agama Hindu Abad ke-VIII, nama tersebut diambil dari jenis pohon yang bernama cangkuang . Bangunan candi tersebut berfungsi menutup arca Dewa Syiwa agar terhindar dari kerusakan. Bentuk tersebut juga baru perkiraan mengingat material batu-batu yang sudah sebagian hilang digunakan untuk keperluan batu nisan masyarakat setempat.

Konon pada zaman dahulu ada mitos siapa saja yang berjiarah ke makam Arief Muhammad dapat melihat arca Dewa Syiwa lalu melihatnya semua maksud yang diingkan akan terkabul. Sampai sekarang kejadian seperti itu berlanjut, banyak orang yang berjiarah sekaligus melihat patung yang ada di dalam candi.

"Makannya demi pengmanan dikasih pintu. Kan, bagi orang Hindu dipuja sama kita dirusak. Siapa saja orang Hindu yang mau sembayang baru itu dibuka," ungkap Umar sembari tertawa, Minggu (09/03/2020).

Abad ke-17 masyarakat setempat  di islamkan oleh Arief Muhammad secara bertahap kemudian memiliki 7 anak perempuan 1 anak laki-laki lalu terbentuk sebuah Kampung Adat Pulo  dengan jumlah 6 rumah sebagai simbol anak perempuan dan 1 mushola simbol bagi anak laki-laki yang dimiliki beliau, tidak boleh ditambah atau dikurang harus tetap ada 7 bangunan pokok, 6 kepala keluarga  dengan tidak menghilankan tradisi Hindu yang sering dilakukan orang-orang di kampung sana seperti ritual, sesajen,  rebokasan, mapag bulan, 12 maulud, memandikan benda pusaka, niiskeun pare, penyambutan bulan puasa.

Di samping kampung adat dan candi terdapat sebuah danau hasil bendungan para pengikut ajaran islam Arief Muhammad yang sekarang dijadikan akses menuju  kampung dengan menggunakan perahu apung dari bambu yang diikat berjajar atau sekadar berswafoto orang yang berwisata ke tempat itu.

Selain bercocok tanam dan berjualan sebagai mata pencaharian, orang-orang Kampung Adat Pulo mempunyai prinsip bahwa segala sesuatu harus berdasarkan hati. Keseharian mereka sama seperti orang pada umumnya, hanya jika keluar kampung terdapat perbedaan, banyak yang menyapa karena terdapat pecahan warga diluar sana dari Kampung Adat Pulo.

Dalam hal bertamu juga memiliki aturan, jika datang ke tempat atau rumah saudara harus di kunjungi semua untuk menjaga perasaan, kalau tidak mereka merasa tidak dianggap sebagai keluarga.

Setiap warga dilarang keras memelihara hewan besar berkaki empat dengan alasan khawatir tanaman mereka dirusak, kotoran hewan berserakan di makam-makam keramat, terutama binatang sapi  dikhawatirkan kepercayaan mereka kembali kepada ajaran sebelumnya yang di anut karena Dewa Syiwa menunggangi sapi.

Sesepuh Kampung Adat Pulo memeberikan ilmu pengetahuan kepada keluarga tidak secara langsung tetapi dengan cara menyuruh setiap anggota keluarga harus mengikuti apa yang terjadi dan dilakukan oleh tetua sebelumnya, lalu memancing mereka untuk bertanya. Dengan demikian cara seperti itu dianggap lebih efektif dalam menerapkan ilmu-ilmu yang ada.

Tanggu jawab berat harus dijalani oleh Tatang Sanjaya selaku kuncen, sebab menyangkut masalah orang-orang  setiap hari berdatangan, bergantian dengan jumlah yang tidak sedikit dan memiliki tujuan serta keiinginan berbeda-beda saat datang kepadanya.

Belum ada cerita terkhusus tentang Kampung Adat Pulo dan Candi Cangkuang yang secara tertulis hanya sepenggal cerita turun-temurun, masih banyak hal dari simbol-simbol dan siloka yang ada di sana sampai sekarang masih dikaji, juga belum terpecahkan. Itu semua tidak merubah kepercayaan masyarat terhadap cerita-cerita yang sudah diyakini sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun