Yonanda Audry Cristiana
12 IPS 4, SMAN 3 KABUPATEN TANGERANG
Aceh merupakan salah satu Daerah istimewa yang ada di Indonesia dengan berbagai suku yang ada di dalamnya. Salah satu suku yang mendiami Daerah Istimewa Aceh dengan kekayaan budaya serta tradisinya adalah suku Tamiang. Suku Tamiang adalah kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah Aceh, khususnya di Kabupaten Aceh Tamiang. Mereka mendiami beberapa kecamatan seperti Karang Baru, Tamiang Hulu, Kota Kuala Simpang, Kejuruan Muda, Bendahara, dan Seruway.
Menurut beberapa teori, suku Tamiang dapat berasal dari orang-orang Kerajaan Melayu Raya yang melarikan diri saat tanah mereka diserang oleh Kerajaan Sriwijaya. Kelompok yang berhasil lolos kemudian mendirikan kerajaan sendiri, dengan puncak kejayaan pada tahun 1330-1366 M di bawah pemerintahan Raja Muda Sedia. Ada juga legenda yang menyebutkan bahwa nenek moyang Tamiang berasal dari keturunan Kerajaan Aru di Timur Pulau Sumatera dan mendirikan kerajaan mereka sendiri di bawah pemerintahan Raja Pucuk Suluh.
Terlepas dari asal-usulnya, Kabupaten Aceh Tamiang menjadi salah satu daerah dengan etnis Melayu terbesar di Aceh. Fakta ini terkait dengan sejarah masa lalu di mana daerah ini pernah menjadi tempat berdirinya beberapa kerajaan Melayu yang berpengaruh. Pada awalnya, Suku Tamiang menetap di beberapa kecamatan di distrik Kabupaten Aceh Timur. Pada tahun 2002, daerah tersebut mengalami perubahan nama menjadi Kabupaten Aceh Tamiang. Meskipun terpapar oleh modernisasi budaya, Suku Tamiang  berhasil mempertahankan identitas etnis dan budaya mereka.
Suku Tamiang memiliki bahasa yang mirip dengan bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Palembang, dan Melayu Malaysia. Dalam adat istiadat, mereka memiliki kekhasan yang berbeda dari suku-suku lain di Aceh. Misalnya, sebutan untuk keturunan raja di kalangan Suku Tamiang adalah 'Tengku', sedangkan di kalangan orang Aceh adalah 'Teuku'.
Rumah adat Suku Tamiang mempunyai kesamaan dengan rumah tradisional masyarakat Melayu di Sumatera Utara. Struktur rumah ini mengusung desain panggung dengan tiang empat persegi, dengan 9 atau 12 tiang utama. Atap rumahnya memiliki ciri khas melengkung sedikit di bagian tengah, sementara dapur memiliki bubungan terpisah yang lebih rendah dibandingkan dengan bubungan rumah utama atau rumah induk. Lokasi penempatan rumah cenderung menghadap ke barat atau sungai, mencerminkan kepercayaan lokal yang tertanam dalam budaya Suku Tamiang. Keunikan rumah adat ini mencerminkan identitas yang kuat dalam tatanan budaya masyarakat mereka.
Ciri khas fisik orang-orang Suku Tamiang mencakup postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, kulit sawo matang atau kuning langsat, rambut hitam pekat dan lurus, serta hidung cenderung pesek. Meskipun jumlah populasi mereka mencapai sekitar 125.000 jiwa, suku Tamiang berhasil mempertahankan identitas dan budayanya di wilayah Kabupaten Aceh Tamiang
Kearifan Lokal dan Budaya
Salah satu budaya yang masih erat dengan Suku Tamiang adalah Upacara Tulak Bala dan Kenduri Blang, kedua adat ini memiliki nilai budaya yang dijadikan pondasi hidup Suku Tamiang. Pertama, nilai keselarasan dengan alam dalam upacara Tulak Bala, yang mana masyarakat berusaha menjaga keseimbangan dengan alam melalui ritual pembersihan desa dari energi negatif. Masyarakat Suku Tamiang percaya bahwa ucapata tersebut bisa menjauhkan mereka dari segala bencana dan hal hal negatif dari Suku Tamiang,mereka juga benar benar menyadari bahwa mereka hidup bergantung dengan lingkungan mereka tinggal.
Kedua, nilai-nilai solidaritas dan kebersamaan yang terlihat dalam partisipasi seluruh masyarakat dalam kedua upacara tersebut. Masyarakat Tamiang berkumpul untuk menangani bencana di Tulak Bala dan merayakan hasil panen di Kenduri Blang. Hal ini menandakan semangat gotong royong dan saling mendukung yang menjadi inti kehidupan masyarakatnya.
Tidak hanya itu, budaya Blang Kenduri merupakan salah satu nilai syukur dan pelestarian tradisi, dimana mereka mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan dan menghormati leluhur serta makhluk halus. yang dianggap bermanfaat dalam salah satu mata pencaharian mereka yakni dalam pertanian. Hal ini menunjukkan bentuk rasa syukur terhadap warisan budaya dan spiritualitas yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Keseimbangan dengan alam, solidaritas masyarakat, rasa syukur dan pelestarian tradisi menjadi tiang utama hidup suku Tamiang. Nilai-nilai tersebut tidak hanya menciptakan identitas budaya yang kuat, tetapi juga menjadi landasan berlanjutnya hunungn sosial dan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan spiritualitas. Dengan melestarikan kearifan lokal tersebut, suku Tamiang yakin untuk dapat terus meneruskan warisan budaya yang sangat berharga dan melestarikan keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia.
Selain beberapa adat tersebut, Â Aceh Tamiang juga menyajikan beragam kuliner tradisional yang kaya akan ciri khas masyarakat Melayu. Salah satu kuliner yang sangat terkenal di daerah ini adalah bubur pedas. Awalnya, bubur pedas identik dengan bulan Ramadhan, namun seiring berjalannya waktu, kuliner ini telah meluas ke acara-acara resmi seperti pernikahan, khitanan, dan dapat ditemui secara bebas di beberapa warung milik masyarakat.
Pergeseran Budaya dalam Modernisasi
Pergeseran budaya di Tamiang, pasca konflik dan tsunami Aceh, merupakan perubahan sosial yang dipicu oleh beberapa faktor, terutama kedatangan pekerja luar dan kemajuan teknologi.
Kehadiran pekerja migran, mayoritas suku Jawa, yang bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit, membawa masalah besar terhadap nilai-nilai budaya Melayu Tamiang. seperti yang terlihat yakni tradisi pertemuan kekeluargaan yang dulu kental mulai tergantikan oleh pola hidup yang lebih individualistik, seiring dengan pengaruh budaya Jawa yang lebih realistis.
Perubahan lain juga dapat dilihat dalam cara generasi muda Tamiang mengonsumsi budaya. Mereka lebih cenderung mengadopsi tren dan gaya hidup yang dipopulerkan melalui media sosial dan teknologi modern. Contohnya, tradisi lisan yang dulu dominan dalam menyampaikan cerita dan nilai-nilai budaya mulai digantikan oleh konten digital, seperti video dan podcast, yang lebih mendunia.
Selain itu, meskipun teknologi memberikan akses cepat ke informasi global, dampaknya tidak selalu positif. Banyak generasi muda yang kehilangan minat pada kearifan lokal dan seni tradisional, seperti tarian dan musik Melayu Tamiang. Mereka lebih memilih mengonsumsi hiburan global yang sering kali tidak mencerminkan identitas budaya mereka.
Kesadaran Suku Tamiang terkait keterbukaan mereka dalam modernisasi ternyata juga memiliki dampak negatif yang mungkin tidak akan pernah mereka duga sebelumnya. Namun meskipun dengan adanya pergeseran budaya tersebut, beberapa budaya seperti upacara adat masih terlestarikan dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H