Toshikazu Kawaguchi, seorang penulis asal Osaka, Jepang, menulis bukunya Dona Dona (Omoide ga Kienai Uchi ni) yang turut membawa pembacanya melintasi waktu, menikmati cerita-cerita haru tokoh-tokohnya yang kembali ke masa lampau untuk menyelesaikan urusan mereka; dendam, pesan terakhir, juga bertemu untuk terakhir kalinya dengan seseorang yang tidak dapat lagi mereka temui di masa kini. Ia mengawali karirnya sebagai penulis naskah dan sempat berperan penting sebagai direktur serta sutradara di sebuah grup teater kecil bernama Sonic Snail. Debutnya sebagai penulis ditandai setelah drama produksinya, “Before the Coffee Gets Cold”, laku keras dan sangat diminati oleh khalayak luas. Drama ini sukses memenangi 10th Suginami Drama Festival. Melihat kesuksesannya, seorang editor memintanya mengadaptasi drama tersebut menjadi novel.
Buku ini merupakan bagian ketiga dari seri ‘Funiculi Funicula’ yang memiliki tokoh-tokoh inti serta premis yang sama dengan seri-seri sebelumnya, yaitu kafe yang salah satu kursinya dapat mengantarkan seseorang melintasi waktu. Dapat dilihat dari karya-karyanya yang lain, Kawaguchi memiliki fokus tersendiri untuk meninggalkan kesan ‘heartwarming’ dan ‘bittersweet’ kepada pembaca dengan ceritanya.
Sinopsis
Dona Dona (Omoide ga Kienai Uchi ni) mengisahkan tentang sebuah cafe Dona Dona di sebuah lereng tanpa nama di Hakodate, Hokkaido, yang menawarkan layanan istimewa kepada pengunjungnya berupa perjalanan melintasi waktu. Seperti di kafe Funiculi Funicula yang ada di Tokyo, hal tersebut hanya dapat dilakukan jika berbagai peraturan yang merepotkan dipenuhi dan dengan secangkir kopi yang dituangkan oleh perempuan di keluarga Tokita. Namun dengan kepergian Yukari ke Amerika untuk membantu salah satu pelanggan kafe mencari ayahnya, kafe diambil alih oleh Nagare, Reiji, Kazu dan anaknya, Sachi.
Kali ini, terdapat 4 pelanggan kafe dengan masing-masing cerita dan alasan yang membawa mereka untuk duduk di satu kursi spesial dan menunggu Sachi, salah satu keturunan perempuan dalam keluarga Tokita, untuk menyeduh secangkir kopi dan memulai perjalanan mereka melintasi waktu. Perjalanan mereka memang tidak dapat merubah apa yang sudah terjadi. Namun, mereka mendapat jawaban dari segala keraguan, kehangatan, serta harapan menumbuhkan tekad baru untuk kembali menjalani hidup.
Cara Kawaguchi menyusun cerita dalam novel ini patut diperhatikan. Sebagai penulis, karya-karyanya cukup dialog-heavy dan jarang sekali mendeskripsikan ruang serta penuansaan dalam cerita-ceritanya. Ia lihai membawa emosi pembacanya melalui dialog-dialog penuh haru antar tokoh. Misal, pada saat Todoroki menemui mendiang istrinya, Setsuko di masa lalu. Kawaguchi mengatur percakapan kedua tokoh tersebut sedemikian rupa sehingga pembaca turut merasakan haru ketika Todoroki mengatakan enggan kembali ke masa kini karena hidupnya tidak berarti jika Setsuko tidak ada. Hal yang sama juga terjadi ketika Yukika meminta Reiko untuk tidak mengorbankan kebahagiaannya karena kematian Yukika. Namun, secara keseluruhan gaya penulisan Kawaguchi terkesan datar. Hampir seperti membaca sebuah naskah. Hal ini cukup masuk akal, mengingat ‘spesialisasi’ Kawaguchi sebenarnya memang di bidang naskah-naskah pertunjukan teater dimana dia perlu menyentuh pembacanya melalui dialog, bukan penggambaran atau narasi tentang ruang dan penuansaan cerita. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa seri ini merupakan adaptasi dari salah satu dramanya, dimana Kawaguchi perlu menyesuaikan naskahnya menjadi kurang lebih 5 jilid buku.
Kami juga menemukan beberapa inkonsistensi serta terdapat cukup banyak repetisi di dalam novel ini. Beberapa poin plot yang diceritakannya dalam novel beberapa kali berubah-ubah. Selain itu, terdapat beberapa poin dari cerita yang berulang kali dijelaskan oleh Kawaguchi. Kekurangan lain yang kami temukan adalah kecenderungan Kawaguchi untuk menjelaskan detail-detail yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada hubungannya dengan perkembangan plot. Terdapat juga detail-detail lain yang terkesan seperti out of place dan tidak memiliki pengaruh apabila dihapuskan.
Namun, Kawaguchi patut diacungi jempol karena plot serta konsep dari ceritanya yang orisinil. Ia dapat menyusun plot demi plot secara rapi serta menjelaskan konsep perjalanan waktu — yang sejatinya merupakan hal yang sangat sulit dicerna, apalagi melalui tulisan — dengan ringan sesuai dengan tujuannya untuk membuat buku ini sebagai bacaan yang ringan, namun menggugah. Meskipun buku ini memuat banyak cerita mengenai tragedi sebuah kematian, namun hal yang ingin disorot oleh Kawaguchi adalah bagaimana closure yang didapat oleh orang-orang yang ditinggalkan. Maka dari itu, meski dengan bahasan yang cukup berat, buku ini tetap terasa ringan dan menghangatkan hati para pembaca.
Dari sana, tujuan tersembunyi dari tulisan Kawaguchi terungkap. Kehidupan seharusnya dijalani dengan bahagia tanpa ada hal yang menahan kita. Ia ingin menunjukkan bahwa semua hal sudah berjalan di jalur yang sudah semestinya. Melalui perjalanan waktu tokoh-tokohnya, ia seakan ingin menyampaikan bahwa penyesalan akan sesuatu yang sudah terjadi itu sia-sia. Orang-orang tetap dapat mengunjungi masa lalunya untuk sekedar menyegarkan lagi memori dengan orang yang disayanginya tanpa perlu mengubah sesuatu di masa depan. Melalui peraturan mengenai perjalanan waktu yang berulang kali dijelaskan dalam novel ini, sekeras apapun kau mencoba, kau tak akan pernah bisa mengubah masa depan. Hal ini tampaknya menjadi tujuan yang dikemas Kawaguchi dengan baik di dalam cerita-ceritanya. Berkaca dari penyesalan-penyesalan manusia akan hal yang tak dapat diubah, bahkan dengan kembali ke masa lalu, hal yang memang sudah seharusnya terjadi akan tetap terjadi. Hal ini mengantar kita pada kutipan oleh Yukari yang mengakhiri cerita tentang petualangan waktu kita di kafe Dona Dona.
“Menurutku, kematian tidak seharusnya menjadi alasan seseorang tidak bahagia. Sebab, tak ada orang yang tak akan mati. Jika kematian adalah penyebab ketidakbahagiaan, berarti semua orang dilahirkan untuk tidak bahagia. Hal itu tidak benar. Setiap orang tentu dilahirkan demi kebahagiaan.”