Awalnya aku berpikir, tidak adanya restu tidak akan menjadikan hubunganku dengan Julian terganggu. Aku adalah wanita yang berpikir modern. Rumah tangga yang kujalani tergantung pada ikatan cinta di antara aku dan Julian saja. Hingga pernikahan kami yang menginjak tahun kelima, Julian dibuang dari keluarganya.
Julian tentu saja secara otomatis kehilangan pekerjaannya. Selama ini ia bekerja di perusahaan milik ayahnya. Aku tidak gentar karena aku memiliki banyak uang untuk menghidupi keluarga kecilku. Tidak masalah asalkan Julian bersamaku.
Suatu hari ibu mertuaku datang menemuiku dan Julian. Wanita glamor dengan berlian mahal yang melingkupi hampir seluruh tubuhnya itu mencaci makiku dengan ucapan tidak senonoh. Ia menganggapku sebagai wanita yang dikutuk oleh Sang Pencipta. Katanya aku tidak pantas mendapatkan putranya. Aku tidak pantas meraih kebahagiaan. Akupun tidak akan memiliki keturunan, tidak akan melahirkan bayi mungil yang menggemaskan. Dan sebagian perkataan itu terbukti. Di usia pernikahanku yang kelima, aku belum dikaruniai seorang anak.
Aku hanya menundukkan wajahku, menahan agar air mataku tidak tumpah. Aku tidak akan menangis di hadapan siapapun, aku akan menahannya sebisa mungkin, apalagi di depan ibu mertuaku yang hatinya menyerupai iblis.
Ibu mertuaku meminta Julian untuk segera meninggalkanku dan menikahi wanita lain yang lebih bermartabat. Wanita yang berasal dari suku yang sama dengan mereka. Ibu mertuaku bahkan menjanjikan pembagian harta yang sangat menggiurkan bagi Julian jika putranya itu mau menceraikanku. Konyol sekali.
Julian diam. Ia menolak ajakan ibunya untuk pulang ke rumahnya. Pria itu justru meraihku, menenggelamkan aku ke dalam pelukannya, membelai rambutku yang tergerai, lalu mencium keningku. Hal itu membuat ibu mertuaku semakin marah. Ia membalikkan tubuh, berjalan menuju ke arah pintu, lalu menghilang di kegelapan malam.
Kupikir semua akan selesai. Namun ternyata tidak secepat itu. Hari berikutnya, seorang pria utusan dari keluarga Julian datang ke rumah. Pria itu mengetuk pintu dengan cara yang elegan. Aku dan Julian mempersilakan pria itu masuk dan setelah meneguk secangkir teh yang disiapkan pelayan, pria itu memulai pembicaraannya.
"Tuan Julian dan Nyonya Mariana, sangat terpaksa harus saya sampaikan berita yang kurang enak didengar. Malam ini juga, Tuan Julian kami tahan."
Aku tersentak. Kami. Pria itu hanya datang sendiri. Dan atas dasar apa pria itu hendak menahan Julian? Dan siapa memangnya dia sehingga memiliki kewenangan untuk menahan suamiku? Bukankah dia memperkenalkan diri sebagai utusan dari keluarga Julian?
Aku berdiri, berpura-pura mengambil tisu di meja kecil yang menghadap ke arah pintu. Mataku menembus keluar pagar. Sejumlah mobil berwarna gelap, dengan beberapa pria yang berdiri dalam keadaan siaga. Ya Tuhan.
Aku tergesa-gesa kembali duduk di sebelah Julian. Tanganku gemetar. Aku berusaha meraih jemarinya, menggenggamnya dengan erat, berusaha menenangkan hatinya yang dipenuhi amarah. Julian sangat marah. Aku bisa melihat itu karena aku sangat mengenali suamiku.