Tatkala pria itu pergi dari pandangan mataku, tubuhku merosot ke lantai. Air mata tumpah tak lagi bisa kubendung. Suaraku tenggelam dalam sesak yang melilit tenggorokanku. Tak ada lagi teriakan, tak ada lagi amarah. Semua hilang ditelan kegelapan.
Aku tak ingin hidup lagi. Sebilah pisau kugunakan untuk mengiris pergelangan tanganku untuk mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan oleh perasaanku yang dalam. Tidak ada darah, tidak ada warna merah yang mengalir. Pisau itu seolah tumpul, tak mempan melukai kulitku.
Aku merapat ke dinding berwarna pekat. Cahaya lampu dari teras tiada mampu menembus ruangan. Kubiarkan mataku terpejam, meluapkan kepedihan melalui tangisan yang memilukan. Jika saja aku memiliki pilihan, aku ingin meninggalkan semua yang pernah kulalui, semua yang menyakitkan, semua yang menimbulkan penderitaan. Dunia sungguh sangatlah kejam.
Dimana ibuku. Saat aku ingin bersandar di pelukannya, ia justru menghilang ditelan bumi. Jasadnya terkubur dalam tanah setelah melahirkanku. Jika aku merindukannya, aku datang ke pemakaman, menatap batu nisan berwarna kelabu, sembari meraba bebatuan kecil yang terpendar di pusara. Ibu yang kukenali dari fotonya saja, sungguh menyedihkan.
Lalu ayahku. Ia pun lenyap dariku. Saat aku menginginkan sentuhannya yang menenangkan, ia justru memilih untuk menyusul ibuku ke alam keabadian. Ayahku sengaja meminum racun setelah aku tumbuh dewasa dan dianggap bisa menjalani hidup tanpanya. Ia meninggalkan sebuah rumah mewah, sebuah perusahaan, beberapa mobil, dan beberapa properti yang saat ini kusewakan.
Dan pria itu. Pria tempatku membuang keluh kesah, pria tempatku melampiaskan kesedihan, pria yang kupuja sebagai seorang kekasih, pergi meninggalkanku. Aku sebatang kara. Tiada saudara, tiada kerabat, tiada sahabat. Semua sibuk dengan urusan masing-masing.
Malam kian larut. Aku merangkak menuju kamar, menghempaskan tubuh ke ranjang peninggalan kedua orang tuaku. Tidak ada cahaya. Aku sengaja tidak menyalakan lampu supaya tidak seekor serangga pun melihat wajahku yang lebam karena air mata. Tidak. Aku adalah Mariana, sosok wanita yang dikenal tangguh, kuat, dan mampu menghadapi apapun. Dan biarlah mereka semua tetap menganggapku demikian.
Lucu sekali. Saat aku membaur dengan orang-orang yang sesungguhnya tidak kukenal dengan baik, mereka menganggapku sebagai wanita yang memiliki segalanya. Kekayaan, pekerjaan, kecantikan, juga ketenaran. Mereka menganggapku sebagai wanita sempurna hingga diperebutkan banyak pria untuk dipinang. Dipinang karena sebuah kepentingan, bukan karena cinta.
Hingga pada akhirnya aku bertemu dengan Julian. Pria tampan berkulit putih dengan wajah orientalnya yang memikat. Ia menawarkan cinta kepadaku. Ia melakukan apapun untuk menaklukkan hatiku yang kaku. Ia menunjukkan kepadaku sebuah kepribadian yang teramat mempesona melalui prilaku, tutur kata, juga segala keberhasilan yang diraihnya. Julian membuat diriku merasa berharga, merasa layak untuk dicintai, merasa pantas untuk mendapatkan kebahagiaan.
Hubungan kami berjalan selama dua tahun sampai pada akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Pernikahan yang tidak dihadiri oleh kedua orang tuaku karena mereka sudah tiada, juga tidak dihadiri oleh kedua orang tua Julian karena mereka tidak merestui hubungan kami.