Mohon tunggu...
Audrey Pasha
Audrey Pasha Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Hobi: menulis, travelling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menikahi Pelacur

13 Oktober 2023   12:52 Diperbarui: 23 Oktober 2023   11:19 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay/ tung256)

Meilani menggigil. Tubuhnya kurus kering tinggal kulit dan tulang belulang. Rambutnya kusut, pakaiannya kumal, wajahnya kusam. Wanita muda berusia dua puluh lima tahun, terusir dari rumah bordil akibat terjangkit penyakit lepra.

Meilani berjalan menyusuri jalanan yang kian pekat. Matahari tergelicir ke barat, bintang rembulan enggan menggantikan. Rintik hujan membasahi bumi, aspal terlihat pekat. Satu-satunya tempat untuk bermalam hanyalah kolong jembatan karena emperan toko sudah dipenuhi gelandangan.

Sudah tiga hari Meilani terkatung-katung di kota besar yang konon katanya menjanjikan kemakmuran bagi penghuninya. Perutnya lapar namun uangnya tiada lagi tersisa. Germo sudah mengambil banyak keuntungan darinya, termasuk menjual keperawanannya pada pria hidung belang.

Setiap manusia yang berlalu lalang hanya memandanginya dengan rasa jijik. Tidak ada welas asih atau sekedar basa-basi untuk menyapanya. Jika esok hari tiada orang yang sudi memberinya makan, Meilani bertekad mengais nasi sisa di tong sampah. Meilani akan berebut makan dengan tikus liar, kecoa, bahkan seekor anjing kudis sekalipun. Tidak ada yang lebih menjijikkan di dunia ini selain tubuh Meilani yang dipenuhi bintil-bintil lepra akibat tertular dari seorang pelanggannya.

Meilani terbatuk. Kerongkongannya terasa kering. Meilani menadahkan tangan, minum air hujan jauh lebih baik daripada ia mati kehausan. Meskipun Meilani sangat menginginkannya. Kematian adalah jalan terbaik bagi Meilani daripada hidup menanggung malu, juga penyakit yang membuatnya tersiksa.

Tidak ada jalan pulang. Kedua orang tuanya telah meninggal akibat bencana kebakaran yang menghanguskan tempat tinggalnya di desa. Pamannya lebih asik dengan permainan judi sementara bibinya yang jahat sudah menjualnya pada seorang germo. Kejahatan yang tidak pantas dimaafkan. Meilani akan mengingat peristiwa itu sepanjang hidupnya, membawanya sampai pada kematiannya. Bahkan jika memang bisa, Meilani akan menjelma menjadi hantu demi membalas dendam pada bibinya.

Germo itu bernama Subandi. Saat itu usia Meilani baru menginjak delapan belas tahun. Meilani yang cantik, bugar, dan dikagumi teman-temannya, terpaksa harus mengikuti Subandi ke kota atas paksaan bibinya. Katanya, ada pekerjaan yang harus Meilani lakukan. Apalagi saat itu Meilani baru saja lulus SMA dan tidak ada harapan baginya untuk melanjutkan kuliah karena tidak ada yang sudi membiayainya.

Meilani yang polos akhirnya mengikuti Subandi ke kota. Bibinya tersenyum licik melepas kepergiannya. Dan setelah tiga bulan berlalu, Meilani baru menyadari bahwa sang bibi sudah menjualnya ke Subandi dengan sejumlah uang yang fantastis. Sejumlah uang yang pada akhirnya dipergunakan oleh sang bibi untuk memperbaiki rumah, membeli perhiasan, serta membeli pakaian sutra.

Meilani bahkan yakin jika pamannya yang memiliki hubungan darah dengan ibu kandungnya, sesungguhnya mengetahui ulah istrinya. Namun sang paman seolah menutup mata. Ia lebih memilih untuk ikut menikmati kenyamanan bersama wanita jahat yang ia nikahi. Wanita jahat yang mandul. Meilani yakin, Tuhan tidak akan memberinya keturunan. Wanita jahat tidak layak mendapatkan anugrah.

Meilani berbaring di bawah jembatan, menyandarkan punggungnya di trotoar. Matanya terpejam namun ia belum juga bisa terlelap. Ketakutannya menyongsong hari esok membuat pikirannya melayang menembus ketidakpastian. Tidak ada lagi harapan selagi penyakit belum juga hengkang dari tubuhnya.

Malam semakin larut. Hawa dingin menyiksa menembus tubuhnya yang tak berdaging. Meilani menarik selimut yang ia curi dari Subandi, berusaha mengatur nafas untuk menyingkirkan siksaan akibat cuaca yang semakin tak berpihak padanya. Meilani berusaha tidur, melupakan ketakutannya pada kekejaman makhluk, hingga matahari terbit dari ufuk timur, menaburkan sinarnya yang teduh, membangunkan Meilani yang susah payah bangkit dari posisinya.

Wanita itu berjalan tertatih meninggalkan kolong jembatan. Hendak kemana ia menuju, tak tahu arah, hanya mengikuti kata hatinya yang bimbang. Hingga sampai di perkampungan di belakang gedung bertingkat, Meilani memeriksa tong sampah milik orang kaya. Ada remahan nasi dengan sisa-sisa daging. Wanita itu memungutnya, lalu memakannya dengan membabi buta. Ia tidak menyadari ketika seorang pria berdiri di balik pagar besi, sedang mengawasinya.

Seorang penjaga rumah keluar, menarik tubuh Meilani dengan menggunakan sarung tangan. Penjaga rumah berpakaian serba putih, tampak jijik memegang lengan Meilani yang ditumbuhi penyakit. Penjaga itu mendorong tubuh Meilani ke dalam sebuah ruangan, memintanya untuk membersihkan diri, lalu mengganti pakaiannya yang kumal. Meilani gemetar. Ia ketakutan namun ia tidak berani menolak perintah. Lagipula, tidak ada yang sudi memperkosanya, dan jika ia akan dibunuh, ia akan berterima kasih padanya karena teleh mengakhiri hidupnya yang menyedihkan.

Penjaga meninggalkan ruangan. Pintu kayu ditutup rapat namun tidak dikunci. Sebuah kamar yang tidak terlalu besar, dilengkapi sebuah tempat tidur sederhana, sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu, juga ruangan lain yang ternyata adalah kamar mandi. Di atas ranjang terdapat sepasang pakaian wanita, lengkap dengan pakaian dalam. Seseorang sudah menyiapkannya untuk Meilani.

Wanita itu berdiri di depan sebuah cermin. Ia telah selesai membersihkan tubuhnya yang kumal. Ia menyisiri rambutnya perlahan, menyentuh pipinya yang cekung, dan tanpa ia sadari, air matanya mengalir. Meilani tidak secantik sebelumnya. Meilani yang menjadi kebanggaan Subandi karena banyak pria ingin menjelajahi kemolekannya, kini menjadi seonggok sampah.

Meilani duduk di tepi ranjang. Tidak ada gunanya meratapi hidup. Kematian mungkin akan segera tiba. Harapannya untuk hidup normal selayaknya wanita di luar sana enyah sudah. Tidak akan ada pria baik yang sudi menikahi seorang pelacur yang terjangkit penyakit lepra, kurus kering, dan sekarat.

Meilani terbangun dari lamunannya. Matanya yang sayu menatap ke arah pintu, mendapati sosok pria berpakaian serba putih melangkah mendekatinya. Pria tampan berusia tiga puluh tahunan, dengan rambut yang disisir ke belakang. Pria berkulit putih yang rupawan, dan tentu saja, seorang pria baik-baik, bukan pria yang suka menyiksanya di atas tempat tidur.

"Nona, Aku Dokter Daniel. Aku akan memeriksamu. Kulihat, kau sedang sakit."

"Aku tidak punya uang untuk membayarmu. Biarkan saja. Penyakit ini akan mengantarkanku menemui kedua orang tuaku."

"Lepra tidak akan membunuhmu. Pengobatan zaman sekarang sudah sangatlah baik. Kau akan sembuh, percayalah padaku."

Meilani terdiam. Ia membiarkan sang dokter memeriksanya. Wajahnya tertunduk lesu. Sesungguhnya ia tidak tega membiarkan sang dokter menyentuh kulitnya yang menjijikkan. Namun apalah daya, Meilani tidak memiliki kekuatan untuk memberontak. Ia bukan siapa-siapa, ia tidak punya apa-apa.

Tujuh bulan berlalu. Meilani dinyatakan sembuh dari penyakitnya. Wanita itu kembali bersemangat melanjutkan hidupnya. Dokter Daniel memberinya pekerjaan sebagai juru masak. Meilani tidak perlu lagi berkeliaran di jalanan, apalagi kembali ke tempat Subandi.

Meilani mendapatkan pengajaran dari seorang guru yang dipanggil secara khusus oleh Dokter Daniel. Guru yang mengajari budi pekerti, etika dalam berprilaku dan bersikap, serta membentuk kepribadiannya menjadi lebih bersahaja.

Menjelang akhir bulan Desember. Sudah hampir tiga tahun Meilani bekerja di rumah Dokter Daniel. Pekerjaan yang sesungguhnya tidak banyak menyita waktunya. Tugasnya hanya menyiapkan makanan untuk sang dokter, menyiapkan pakaian yang hendak dikenakan oleh sang dokter, juga merapikan kamar tidurnya.

 

Meilani merias wajahnya. Gaun berwarna putih membalut tubuhnya yang kembali molek. Sepasang anting menghias cuping telinganya, juga kalung berliontin permata berwarna senada dengan gaunnya. Dokter Daniel telah mengubah Meilani menjadi sosok wanita berkelas.

"Kemana kau hendak membawaku, Tuan?"

"Menghadiri sebuah pesta. Teman-temanku sedang berkumpul di Indonesia. Kami ingin merayakannya. Reuni kecil yang menyenangkan.

"Tidak. Aku tidak punya keberanian berbaur dengan kalanganmu, Tuan."

"Mengapa?" Dokter Daniel bertanya, sembari mengaduk kopi hangat yang terhidang di atas meja makannya yang berlapis marmer. Meilani masih berdiri di sampingnya, bersiap kapanpun sang dokter menyuruhnya mengambil gula tambahan.

"Aku memiliki masa lalu yang kelam. Kuharap kau tidak lupa bahwa aku dulunya seorang pelacur."

"Kau melacurkan diri karena dipaksa. Subandi sudah mendekam di dalam penjara. Kau tidak perlu khawatir."

Meilani terkejut. Subandi memiliki banyak koneksi dengan aparat, bahkan beberapa di antara mereka pernah mencicipi tubuh Meilani. Lalu bagaimana mungkin Subandi bisa ditangkap polisi?

"Bukan hanya Subandi. Bibi serta pamanmu juga sudah berada di dalam penjara. Setiap kejahatan harus dihukum."

"Tapi tuan, Pamanku tidak terlibat. Saat bibi menjualku, pamanku sedang tidak ada di rumah."

"Sudah menjadi urusan polisi untuk menyelidiki hal itu. Aku tidak akan membiarkan siapapun berbuat jahat padamu, Meilani."

Dokter Daniel berdiri. Ia menatap wajah Meilani yang tertunduk. Pipi wanita itu merona, degup jantungnya terdengar sangat memalukan. Bagaimana mungkin Meilani yang terbiasa berhadapan dengan kaum pria, merasa gemetar saat Dokter Daniel mulai menyentuh jemarinya.

"Meilani, maukah kau menikah denganku? Aku tidak peduli dengan masa lalumu. Sejak pertama kali aku melihatmu mengais tong sampah di depan rumahku, aku sudah jatuh cinta padamu."

Meilani kembali terkejut. Ia mengangkat wajahnya, menatap Dokter Daniel yang masih menunggu jawabannya. Meilani menggigit pipi dalamnya, meyakinkan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Dan rasa nyeri membuatnya tersadar. Tuhan sedang menunjukkan kuasa Nya. Tuhan mengirimkan malaikat kepadanya. Tuhan mengirimkan seorang pria tampan berpendidikan tinggi, meniupkan api cinta ke dalam hatinya, hingga ia jatuh cinta pada pelacur penderita lepra.

Meilani menganggukkan kepalanya. Ia membiarkan Dokter Daniel memeluknya lalu membimbingnya menuju ke luar. Sebuah mobil mewah sudah menunggu keduanya. Malam ini, perayaan pernikahan sederhana akan dilangsungkan, bukan reuni kecil sebagaimana yang Dokter Daniel sampaikan pada Meilani sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun