Mohon tunggu...
Audiva Try Qirana
Audiva Try Qirana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hobi membaca dan menonton film

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Sengketa Laut China Selatan: Dimensi Geopolitik dan Dampaknya

6 Desember 2024   13:14 Diperbarui: 6 Desember 2024   14:37 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Laut China Selatan mengalami pergolakan yang dapat ditelusuri dari berbagai faktor yang saling berhubungan, baik itu aspek ekonomi, geopolitik, sejarah, maupun keamanan. Laut China Selatan kini menjadi fokus strategis global karena kaya akan sumber daya alam seperti gas alam, minyak bumi, dan ikan, serta memiliki jalur pelayaran yang sangat vital bagi perdagangan internasional. Lebih dari sepertiga perdagangan dunia melewati perairan ini setiap tahun, menjadikannya titik krusial dalam perekonomian global. Tidak hanya itu, kawasan ini juga diyakini memiliki cadangan besar minyak dan gas, dengan China mengklaim bahwa cadangan minyaknya mencapai lebih dari 213 miliar barel, yang sepuluh kali lipat lebih banyak dari cadangan minyak Amerika Serikat. Sementara itu, cadangan gas alam di Laut China Selatan diperkirakan setara dengan yang dimiliki Qatar, sekitar 900 triliun kaki kubik. Oleh karena itu, negara-negara yang terlibat dalam klaim wilayah ini, seperti China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan, berusaha untuk menguasai wilayah ini untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam tersebut.

Selain kekayaan alam, aktivitas pelayaran yang menggunakan jalur Laut China Selatan juga semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat di Asia, khususnya di China. Laut China Selatan menjadi salah satu jalur perdagangan utama dunia yang menghubungkan Asia dengan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Peningkatan volume perdagangan ini turut mendorong perkembangan ekonomi negara-negara di kawasan sekitar, tetapi juga menambah ketegangan antara negara-negara yang memiliki klaim teritorial di wilayah tersebut. Negara-negara seperti China dan Amerika Serikat melakukan upaya pengamanan kepentingan masing-masing, baik melalui jalur diplomatik maupun militer, untuk mencegah provokasi dan ofensif dari pihak lain. China, misalnya, terus memperkuat kehadirannya dengan membangun pulau-pulau buatan dan pangkalan militer di Laut China Selatan. Sementara itu, Amerika Serikat, meskipun tidak terlibat langsung dalam klaim teritorial, berkomitmen untuk menjaga kebebasan navigasi dan mendukung negara-negara yang terlibat dalam klaim wilayah melalui latihan militer bersama atau operasi kebebasan navigasi. Namun, ketegangan ini sering kali berkembang menjadi konfrontasi yang lebih intens, dengan beberapa negara menggunakan ancaman atau intimidasi militer untuk menunjukkan kekuatan mereka di kawasan tersebut. 

Konflik terbuka di Laut China Selatan bermula sejak 1970-an, seiring dengan mulai diperebutkannya wilayah perairan tersebut oleh negara-negara di kawasan. Sejarah konflik ini dipengaruhi oleh perubahan penguasaan wilayah yang silih berganti dan beragam klaim teritorial yang diajukan oleh negara-negara tersebut. Pada 1988, konfrontasi antara Angkatan Laut China dan Vietnam di wilayah Spratly Islands menyebabkan kehilangan 70 personel militer Vietnam dan menandai eskalasi ketegangan yang lebih besar. Klaim China atas hampir seluruh Laut China Selatan, yang dikenal dengan "sembilan garis putus-putus", memperburuk ketegangan ini, karena bertentangan dengan klaim yang diajukan oleh negara-negara lain, seperti Filipina dan Vietnam, yang juga memiliki hak berdasarkan hukum internasional, seperti UNCLOS. Pada 2012, konflik ini semakin meluas ketika China mengklaim wilayah Laut China Selatan secara mutlak, termasuk wilayah yang dekat dengan Indonesia. Meskipun Indonesia tidak memiliki klaim langsung atas wilayah ini, klaim China terhadap perairan yang masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, khususnya di Laut Natuna, menyebabkan ketegangan dan memaksa Indonesia terlibat dalam konflik ini. Konflik ini kemudian terus berkembang seiring dengan meningkatnya ketegangan antara China dan negara-negara yang terlibat dalam klaim wilayah tersebut, serta antara China dan kekuatan besar seperti Amerika Serikat yang berupaya untuk menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan Asia-Pasifik.

Dimensi Geopolitik

Pergolakan Laut China Selatan memiliki dimensi geopolitik yang kompleks, yang mencakup kepentingan ekonomi, keamanan, dan pengaruh politik di kawasan Asia-Pasifik. Secara ekonomi, wilayah ini kaya akan sumber daya alam, terutama minyak dan gas alam, yang sangat bernilai bagi negara-negara yang terlibat dalam klaim wilayah. Selain itu, Laut China Selatan juga merupakan jalur pelayaran vital bagi perdagangan internasional, dengan lebih dari sepertiga volume perdagangan global melewati perairan ini setiap tahunnya. Negara-negara yang terlibat dalam klaim wilayah, seperti China, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei, berlomba-lomba untuk menguasai potensi sumber daya ini, yang juga mencakup hasil perikanan dan tambang offshore.

Dari sisi keamanan, pergolakan ini melibatkan persaingan militer antara China dan negara-negara lainnya, serta kekuatan besar seperti Amerika Serikat. China telah memperkuat kehadiran militernya di kawasan tersebut dengan membangun pangkalan-pangkalan militer di pulau-pulau buatan yang dibangunnya, yang memicu ketegangan dengan negara-negara seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia yang memiliki klaim wilayah di Laut China Selatan. Sementara itu, Amerika Serikat, meskipun tidak terlibat langsung dalam klaim teritorial, berusaha menjaga kebebasan navigasi dan mendukung negara-negara yang terlibat untuk menyeimbangkan dominasi China. Amerika Serikat juga sering melakukan operasi militer di kawasan ini sebagai bagian dari komitmennya terhadap sekutu-sekutunya di Asia.

Selain aspek ekonomi dan keamanan, pergolakan ini juga menyentuh isu politik dan hukum internasional. Negara-negara yang terlibat dalam klaim wilayah, seperti China, Vietnam, dan Filipina, melihat Laut China Selatan sebagai area strategis yang mempengaruhi posisi mereka dalam tatanan geopolitik regional. China, misalnya, menganggap wilayah ini sebagai bagian dari "sejarah kedaulatan" mereka dan berupaya memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut. Di sisi lain, negara-negara seperti Filipina dan Vietnam berusaha mempertahankan hak kedaulatan mereka atas wilayah tersebut. Perselisihan ini juga melibatkan perdebatan tentang penerapan hukum internasional, terutama Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang menjadi dasar klaim wilayah maritim. Meskipun Mahkamah Arbitrase 2016 memutuskan untuk menolak klaim China atas sebagian besar Laut China Selatan, China menolak keputusan tersebut, memperburuk ketegangan yang ada.

Dampak yang terjadi

Pergolakan Laut China Selatan memiliki dampak yang luas dan signifikan dalam berbagai aspek, mulai dari kemanusiaan hingga ekonomi dan keamanan regional.

1. Dampak Kemanusiaan

Konflik ini dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan yang terlibat dalam sengketa, terutama di negara-negara pesisir seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei.

a. Pencemaran Lingkungan dan Sumber Daya Alam: Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, seperti pengeboran minyak, gas, dan perikanan yang tidak berkelanjutan, dapat merusak ekosistem laut dan menghancurkan mata pencaharian nelayan yang bergantung pada kelestarian laut.

b. Perpindahan Penduduk: Negara pesisir seperti Filipina dan Vietnam menghadapi ancaman dari sengketa teritorial di Laut China Selatan, yang dapat memaksa masyarakat mengungsi. Meskipun dampak migrasi internasional terbatas, ketegangan dapat memperburuk ketidakstabilan sosial dan politik di wilayah tersebut.

c. Keselamatan Nelayan: Nelayan dari Filipina dan Vietnam sering terlibat konfrontasi dengan kapal penjaga pantai negara lain, terutama China, yang dapat menyebabkan korban jiwa, penahanan, atau intimidasi, mengancam kehidupan mereka.

2. Dampak Ekonomi

Laut China Selatan, yang dilalui sepertiga perdagangan maritim dunia, sangat rentan terhadap gangguan yang dapat meningkatkan biaya pengiriman dan mengancam ekonomi global. Wilayah ini juga kaya akan sumber daya alam, seperti minyak, gas, dan perikanan, namun ketegangan menghambat eksplorasi dan dapat merugikan sektor ekonomi lokal. Persaingan atas sumber daya ini juga menunda proyek energi dan memperburuk ketergantungan energi. Ketidakpastian yang ditimbulkan juga mengurangi minat investor dan menghambat kerjasama ekonomi regional.

3. Dampak Keamanan Regional

a. Militerisasi Laut China Selatan: Tiongkok telah membangun berbagai instalasi militer di pulau-pulau yang disengketakan, termasuk landasan udara dan fasilitas radar. Hal ini memicu negara-negara lain untuk meningkatkan kehadiran militer mereka di kawasan tersebut, yang berpotensi menyebabkan ketegangan yang lebih besar. Penguatan militer ini meningkatkan risiko pertemuan langsung antar kekuatan militer, yang dapat memicu konflik terbuka.

b. Keterlibatan Kekuatan Besar: Meskipun tidak memiliki klaim atas Laut China Selatan, Amerika Serikat sangat memperhatikan kebebasan navigasi di perairan internasional ini. AS sering mengirim kapal perang dan pesawat militer untuk melakukan "freedom of navigation operations" (FONOPs), yang dapat memicu ketegangan dan eskalasi dengan China.

c. Pengaruh China terhadap Negara-Negara Asia Tenggara: China menggunakan "soft power" dan diplomasi ekonomi untuk mempengaruhi negara-negara kecil di Asia Tenggara dengan menawarkan bantuan dan investasi, yang meningkatkan ketergantungan ekonomi mereka pada China dan mempengaruhi kebijakan luar negeri. Negara seperti Filipina dan Vietnam harus menyeimbangkan klaim teritorial China dengan hubungan ekonomi mereka.

d. Peningkatan Ketegangan di Seluruh Asia Pasifik: Pergolakan Laut China Selatan mempengaruhi hubungan regional, dengan negara seperti Jepang, Australia, dan India yang khawatir terhadap dominasi China, berpotensi memicu pergeseran aliansi dan meningkatkan ketegangan di Asia-Pasifik. 

Pergolakan Laut China Selatan berhubungan dengan klaim teritorial antara China dan negara-negara pesisir seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia atas wilayah kaya sumber daya alam dan jalur pelayaran penting. Ketegangan ini melibatkan kekuatan besar seperti Amerika Serikat yang mendukung kebebasan navigasi, sementara China memperluas pengaruhnya. Dampaknya mencakup gangguan perdagangan global, kerusakan ekosistem, ancaman bagi nelayan lokal, serta peningkatan ketidakstabilan sosial dan politik yang dapat mempengaruhi keamanan regional dan aliansi strategis.

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati Auliah. (2023). "Pesona Kekayaan Alam: Sumber Konflik di Kawasan Laut China Selatan." Jurnal Litigasi Amsir, Vol. 10, No. 2.

Djuyandi Yusa, dkk. (2021). "Konflik Laut China Selatan Serta Dampaknya Atas Hubungan Sipil Militer di Asia Tenggara." Jurnal Ilmiah Muqoddimah: Jurnal Ilmu Sosial Politik & Humaniora, Vol. 5, No. 1.

Hidayat R Agus, dkk. (2024). "Sengketa Laut Cina Selatan: Analisis Realis Terhadap Perebutane Kekuasaan, Respon Regional, Dan Implikasi Geopolitik." Jurnal Syntax Admiration, Vol. 5, No. 2. 

Johannes Rene. (2023). "PENINGKATAN KETEGANGAN GEOPOLITIK DI LAUT CHINA SELATAN (INCREASING GEOPOLITICAL TENSIONS IN THE SOUTH CHINA SEA)." Jurnal Lemhannas RI, Vol. 11, No. 4.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun