Aku biasa menyebutnya, Alice. Karenanya aku menolak beribu ajakan orang untuk aku tinggal bersama mereka, mulai dari Kakek, Sania kakakku yang sudah bersuami dan beberapa paman dan bibiku sejak aku berumur 12 tahun. Dia yang mendorongku untuk tetap bersikap optimis. Berbicara tanpa suara, Tersenyum tanpa gerakan bibir dan menemaniku tanpa tubuh yang sempurna. Itu semua yang membuatku tetap berjalan dengan satu kaki, dia pernah berbicara didalam mimpiku.
Asyara, dengan senang hati aku akan menjadi kakimu, sebagai penegak senyum dalam keharuan. Pengantar salam hati yang berselimut cita, dan penghangat tubuhmu dikala hujan.
Sudah 5 tahun lebih aku tinggal bersama Alice, setelah kejadian pahit itu. Disaat perayaan ulang tahunku, Ayah dan Bunda berniat untuk membeli sepasang buku diary untuk Aku dan Alice, tapi sepulangnya kerumah, mereka hanya membawa sisa darah yang tercecer dan membuahkan air mata terkejam yang pernah aku alami, menangis lagi aku mengingatnya, dalam bayangku Alice berbicara "Hapus air mataku, aku masih setia menjadi kaki, ayah, bunda bahkan kekasih sejatimu
Terima Kasih, Alice
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H