Lalu bagaimana cara untuk terlepas dari jebakan the death of expertise? Tentu saja dengan membenahi budaya literasi dan pendidikan dengan berbasis critical thinking. Pendidikan kita saat ini, bahkan hingga jenjang perguruan tinggi, terkadang masih lebih menekankan substantif perkuliahan dibandingkan dengan esensi untuk membentuk kerangka berpikir yang kritis. Kita sebagai mahasiswa pun belum sepenuhnya terlepas dari jebakan ini. Setidaknya, kita wajib mengawal whatsapp group keluarga masing-masing!
Pada Akhirnya, Media Sosial Cuma "Media" (Alat)
Separah dan sengawur apapun dampak yang kita rasakan dari media sosial, pada akhirnya media sosial hanya sebuah media (alat). Alat yang harusnya kita kendalikan, bukan alat yang mengendalikan kita. Semua bergantung pada kita, sang pengguna media sosial. Kebebasan berpendapat yang terbuka lebar akibat media sosial adalah bentuk pemenuhan hak asasi setiap orang. Jadi, jangan sampai kebebasan kalian malah membelenggu kebebasan berpendapat orang lain atau malah ditunggangi oleh hoax.
Akan selalu ada berbagai pendapat yang tersebar, entah benar atau salah, entah sengaja atau tidak sengaja. Kita hanya perlu berusaha membentengi diri dan orang sekitar dengan menyaring informasi dengan baik. Terutama pada isu-isu penting yang menurut kita layak untuk diluruskan.Â
Selebihnya, biarlah. Sebab hak berpendapat memang seharusnya tak dibatasi bukan? Â Seperti kata Alm. Bj Habibie, "kamu bisa mengalahkan orang pintar dengan 1 fakta, tapi kamu tidak bisa mengalahkan 1 orang bodoh dengan 30 fakta sekalipun!".
Â
- Audia Heriyana Umar
Â
Sumber:
Mastel (2019). Hasil Survey Wabah HOAX Nasional 2019. Diakses pada 21 Februari 2021, dari https://mastel.id/hasil-survey-wabah-hoax-nasional-2019/
Nichols, Tom. (2018). Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
We Are Social. (2022). Digital 2022: Global Overview Report. Diakses pada 19 Februari 2021, dari https://wearesocial.com/uk/blog/2022/01/digital-2022/