Mohon tunggu...
Audia Umar
Audia Umar Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

teknologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena di Balik Kebebasan Berpendapat di Media Sosial

13 Oktober 2022   21:05 Diperbarui: 13 Oktober 2022   21:07 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Perdebatan pendapat di media sosial pasti sudah tidak asing lagi di benak kita. Diwarnai dengan adu kepintaran, bukti, referensi, hingga terkadang berujung hate speech. Ironinya lagi, saat kita sadar pendapat yang mereka bela tidak sepenuhnya tepat dan mereka tidak sadar"

 Dewasa ini kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah hoax, drama, penipuan, ataupun fenomena sejenis lainnya. Meningkatnya aktivitas berselancar ria di dunia maya memungkinkan viralnya informasi yang belum tentu kebenarannya. 

Berdasarkan laporan We Are Social, pengguna aktif media sosial di Indonesia telah mencapai 73,7% dari total penduduk per Januari 2022 atau sekitar 201,57 juta penduduk. Peningkatan jumlah pengguna aktif media sosial seiring dengan pertumbuhan penduduk yang telah mengadopsi internet di Indonesia yang telah mencapai 68,9% pada tahun 2022. 

Sayangnya, kebanyakan pengguna media sosial cenderung mudah terpengaruh oleh informasi yang beredar. Entah terpancing untuk ikut berdebat hal yang tidak jelas, kontroversi, teori-teori konspirasi antah berantah, hingga hate speech. 

Sebut saja perdebatan kaum bumi datar dan bentuk-bentuk lainnya, kelompok anti vaksinasi, perdebatan urusan rumah tangga artis, hingga informasi khas dari whatsapp group keluarga. Well, semua orang memang punya pendapat dan sudut pandang masing-masing. Tetapi apa jadinya jika pendapat itu benar-benar salah dan malah menyesatkan orang lain?

Kebanyakan pengguna media sosial merasa sah-sah saja untuk menyampaikan kebenaran versi mereka. Toh sah-sah saja kan, lagipula ada tameng "kebebasan berpendapat" yang bisa melindungi. 

Dalam hal ini, tiap orang bisa saja merasa paling ahli dalam segala hal bermodalkan searching pada laman yang belum tentu valid juga. Mereka cenderung menolak untuk menerima pendapat lain yang menyalahi pendapatnya. Apalagi saat mereka merasa telah merasa melakukan research yang biasanya hanya mengandalkan berita atau tulisan di blog pribadi. 

Jebakan The Death of Expertise dan Krisis Critical Thinking

Tom Nichols, penulis buku Matinya Kepakaran; Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya (2018)---terjemahan dari The Death of Expertise---menyebutkan bahwa hal tersebut menjadi salah satu akibat dari runtuhnya kepakaran. Matinya kepakaran bukan berarti kematian kemampuan pakar yang sebenarnya, karena nyatanya akan selalu ada dokter, insinyur, pengacara, dan spesialis di bidang lainnya. 

Akan tetapi, matinya kepakaran merujuk pada pudarnya ketergantungan terhadap pakar sebagai teknisi. Singkatnya menurut Sugeng Winarno (2020), kondisi ini terjadi saat orang-orang mulai merasa mengetahui semua hal, walaupun mereka tidak memiliki kompetensi dan keahlian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun