Saat kuutarakan rindu, dia pernah berkata, "Rindu yang ditahan, pertanda cinta yang dalam." Kalimatnya benar. Ya, sedalam rasaku padanya, sekuat itu pula kutahan rindu.
Rindu itu masih kami pupuk. Hampir setiap malam, kami menyiramnya hingga tumbuh subur. Hampir? Ya, hampir. Sebab tak jarang aku menangis ketika tiba-tiba, dikatakannya ingin merawat hubungan yang telah dibinanya tiga tahun lalu sebelum mengenalku. Dia merasa berdosa pada perempuan pertamanya.
Aku lesu, tak bergairah juga benci pada diriku yang kerap merindukannya, terlebih sejak dia mulai menjaga jarak kami. Apalagi sejak memasuki dini hari hingga terbitnya matahari, aku sakau sebab cintanya terlanjur memasuki aliran darahku. 'Benar sayang, aku mencintai, segenap jiwaku hingga saat ini, aku masih merindukanmu."
Tiga puluh hari terakhir, dia sangat sibuk. Intensitas kami semakin berkurang. Namun tak demikian yang terjadi pada hatiku. Aku harus menjaganya di depan khalayak, agar dia tak menggung malu.Â
"Bisa kau bayangkan, citra yang kau bangun sedemikian rupa, bisa langsung rusak jika kuutarakan cinta kita, Kekasih."
Seperti yang kerap kuutarakan padamu, "Aku mencintaimu. Biarkan kumenjagamu dari segala masalah. Aku akan diam di depan semua. Aku tak akan menjatuhkan citramu. Biarkan aku yang merasakan perihnya, Sayang."
Aku tak tahu akhir cerita kami. Semuanya terlalu manis, terpatri indah di tiap sudut hatiku. Aku rindu, itu saja.