Mohon tunggu...
Auda Zaschkya
Auda Zaschkya Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan. Pernah jadi wartawati.

Realita adalah Inspirasiku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebab Aku Bukanlah Perempuan Suci

1 Maret 2014   07:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:21 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Auda Zaschkya feat. Febby Litta

[caption id="attachment_325295" align="aligncenter" width="540" caption="http://surgabidadari.blogspot.com"][/caption]

***

Ia tak menginginkanku. Menurutnya aku hanyalah perempuan hina, tak sesuci dirinya, sang pangeran tak berdosa, hingga tak sedikitpun ia mau melihatku. Padahal ketika ia tengah merangkak, si hina ini yang merangkulnya, mendengar keluh kesahnya saat tak seorangpun mempercayai ucapannya. Tak sadarkah ia? Lupakah ia pada perempuan ini?” Tanyaku pada Tuhan saat Qiyamul Lail, kemarin malam.

***

Tanpa basa basi, sepulang kerja sore kemarin, aku langsung bergegas menuju istananya, hingga  tanpa sadar, aku terlupa untuk berganti seragam sales sebuah produk kosmetik ternama yang tengah kukenakan. Aku kegirangan hingga kurasakan gemuruh di dadaku.

Bagai mendapati durian runtuh, selentingan kabar yang mengatakan bahwa ia telah kembali ke kota ini, membuat airmataku menetes. Bagaimana tidak? Lebih dua tahun ia meninggalkan kota ini, meninggalkan segala kenangan tentang kami. Ah... sebutlah rindu yang kurasakan, hingga buncahannya tak jarang membuatku menangis, apalagi ketika ia tengah bersyair di akun jejaring sosialnya. Akhirnya Ryankembali, setelah ia menyelesaikan pendidikan masternya. “Ia akan melamarku? Semoga.” Bisikku dalam hati.

***

Sebelum ia pergi,hampir tiap hari kuhabiskan waktuku bersamanya. Saat itu, aku juga tengah menempuh pendidikan di kampus yang sama dengannya. Benar, Ryan adalah kakak kelasku. Kedekatan kami terus berlanjut sampai ia menyelesaikan dan meraih gelar sarjana. Setelah itu, ia yang begitu ingin melanjutkan pendidikan ke luar negeri, begitu getol mencari informasi mengenai beasiswa. Tanpa diminta olehnya, aku membantu dan menemaninya melakukan penelitian untuk membuat karya ilmiah, salah satu syarat untuk mendapatkan beasiswa magisternya. Dan ternyata ia berhasil mendapatkan beasiswa itu. Ah... senangnya hatiku. Kuanggap itu adalah keberhasilan kami.

Bagiku, Ryan adalah lelaki yang spesial. Cerdas, bertanggung jawab, dan taat beragama. Sejauh pengamatanku, dia begitu berbeda, bahkan jauh berbeda dari beberapa mantan kekasihku sebelum akhirnya kami menjadi dekat. Walaupun hingga saat ini tak ada status in relationship dalam kedekatan kami, namunsegala perhatiannya kepadaku, begitu menenangkan. Dia begitu menjagaku dan tak pernah sekalipun menyentuh, bahkan jemariku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika dia menyentuhku, mungkin aku akan meleleh seperti ice cream dibawah hangat sinar matahari. Bagaimana tidak? Tatapan matanya saja sudah mampu membuatku luluh lantak serasa tak bertulang. Inilah gambaranku tentang kesempurnan lelaki bershio Gemini ini.

***

Di depan pintu rumahnya, jantungku berdetak semakin tak beraturan. Kuketuk pintunya perlahan. Dia membuka pintu, rasanya aku ingin meloncat memeluknya. Oh, Lelakiku…

Kuulurkan tanganku untuk menjabat tangannya. Dibalasnya dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada. Saking gugupnya aku lupa kalau dia menolak berjabat tangan dengan lawan jenis. “Ah, Ryan... Kau masih saja seperti dulu. Masih sangat sopan terhadapku.” Senyumku padanya.

Dibalas dengan senyuman juga. Namun, senyumnya kali ini terasa berbeda. Dia tak menyilahkanku masuk ke rumah, melainkan hanya mempersilahkanku untuk meletakkan pantatku di kursi teras rumahnya.

Aku menanyakan kabarnya, bagaimana dia disana, apa rencananya selanjutnya. Semakin aneh karena dia hanya menjawab seadanya. Tak balik bertanya tentangku juga. Dan dia, tak sedikitpun menatapku.

Ada apa, Mas? Aku merasa ada yang berbeda sedari tadi. Adakah yang terjadi?” berondongku lagi.

Dia terdiam, lalu perlahan menaikkan dagunya lalu berkata, Aku bertemu dengan seorang perempuan yang sama-sama mengambil master di sana. Minggu depan kami akan menikah. Aku harap kau mau datang, ya Dik.” Jelasnya pelan.

Apa? Menikah? Kau jangan bercanda mas. Gak lucu!” kataku kemudian yang tanpa dosa dijawab olehnya, “Aku serius. Aku merasa dialah tulang rusukku. Dia begitu murni, belum tersentuh oleh seorang lelakipun. Terlihat jelas dimataku bagaimana dia nanti bisa jadi Ibu dari anak-anakku. Pasti hidupku akan sempurna.

Mendengar penjelasannya, aku hanya mampu terdiam sembari menangis dalam keadaan menunduk. Tanpa sengaja, akhirnya aku berkata, “kau kejam mas!”

Bukan begitu maksudku. Tak terbesit keinginan di hatiku untuk berlaku kejam padamu. Aku berani berbicara jujur sedemikian rupa sebab aku telah menganggapmu sebagai adikku. Jadi rasanya kau pasti mengerti akan perempuan jenis apa yang kucari. Kaulah yang selama ini paling mengerti, seperti apa aku dan apa mauku, bukan?” ujarnya masih tanpa dosa.

Dadaku terasa sangat sesak. Rasanya ingin menangis di depannya, namun urung kulakukan mengingat rasa malu yang dapat menghancurkan image perempuan tegar yang selama ini disukainya. Namun, tetapku bertanya dalam hati, Benarkah ini lelaki yang kucintai?

“Reni, Kau pasti mengerti keinginanku, kan?” tanyanya.

“Ya… aku mengerti. Bahkan teramat mengerti semuanya. Apalagi dari gelagatmu barusan yang tak mau lagi menatapku,kan? Sebab menatapku sebentar saja bisa mengotori kesucianmu. Begitu, kan?

“Tak begitu. Tapi kumohon, maafkan aku.” katanya lirih, masih tanpa mau berlama-lama menatapku.

Maafkupun rasanya sudah tak lagi berguna untukmu,Mas. Aku yang bodoh, kok.” Aku menatapnya sembari berusaha tersenyum.

“Maksudmu bagaimana?” tanyanya keheranan.

“Ya. Aku yang bodoh. Aku berusaha keras menjadi seperti perempuan yang kau inginkan. Shalat tak lagi tinggal, lebih sering mengaji, juga berhijab. Selama bertahun-tahun ini berdekatan denganmu, aku sangat menghindari bersentuhan dengan lawan jenis. Juga selama kau tak di sini, aku menjaga diri dan hatiku hanya untukmu.  Sekarang aku mengerti, semua itu tak berguna. Karena bagimu, aku tetap perempuan hina hanya karena aku hampir diperkosa orang. Ah mas... itupun sebelum kita berkenalan dan sampai saat ini, aku masih tetap perawan. Hanya itu yang tak kauketahui.

Kau bukan perempuan hina.” Sergahnya kemudian setelah mendengar ucapan panjangku.

Sudahlah, jangan lagi berbasa-basi. Aku memang hina dimatamu. Tak terhitung berapa lelaki yang pernah menyentuh jemariku. Tak terhitung pula, berapa kali aku pernah bertatapan dengan lelaki lain. Ditambah dengan beberapa lelaki pernah mengecup bibirku, tetap sebelum berkenalan denganmu.Perempuan hina ini tak mungkin bersanding dengan lelaki suci sepertimu.”

***

Aku tak sanggup lagi berhadapan dengannya. Sedih, marah, kecewa, malu, sakit hati, berbaur menjadi satu. Aku tak mau menangis dihadapannya. Kulangkahkan kaki dengan cepat demi berlalu dari rumahnya. Dia masih memanggilku, namun tanpa kujawab, aku berlalu secepat mungkin bersama sepeda motorku.

Di jalan, tangisku tertumpah hingga menjerit-jerit tak karuan. Demi menghindari terjadinya kecelakaan, aku yang masih dikuasai emosi, memarkirkan sang kuda besi di pelataran parkai sebuah taman. Kutuju sebuah bangku taman dan duduk di situ. Aku tengah berusaha melenyapkan emosiku di tempat ini sebelum kembali ke rumah menemui ibuku.

Setelah tangisku tertumpah sederas hujan yang tiba-tiba turun tanpa gemuruh sore ini, kuputuskan untuk kembali ke rumah.

“Gimana, Nak? Sudah bertemu dengan Ryan? Dia sudah kembali, kan? Tadi Ibunya menelepon Mama.” Senyum perempuan paruh baya itu.

Senyum perempuan inilah yang seketika melenyapkan emosiku. “Iya, Ma. Dia sudah kembali, kok. Tadi dia bilang akan menikah minggu depan.”

“Maksudmu, ia melamarmu?” Sumringah Mama.

“Bukan, Ma. Ia akan menikah dengan perempuan suci yang ia temui di kampusnya.” Berusahku menjelaskan kepada Mama sembari menahan sakitku sendiri.

“Kok?” Heran Mama.

“Ya, pastinya begitu, Ma. Ya sudah, tak usah bicarakan dia lagi. Yuk kita makan saja.” Sembari kubuka tudung saji.

***

Pukul 03.00 pagi, aku terbangun dan melaksanakan rutinitasku. Setelah melaksanakan urutan Qiyamul Lail dan berdo’a, lalu aku bertanya pada Tuhan. “Tak sadarkah ia akan perbuatan kejamnya padaku? Lupakah ia pada perempuan ini? Seperti biasa, pukul 04.00 pagi pula ia mengirimkan SMS ke ponselku untuk mengingatku agar dapat menunaikan tugasku. Menatap layar ponselku, tanpa sadar, aku menangis lagi.

Menangis dan menyesali kesalahanku adalah yang saat ini semakin sering kulakukan tanpa sepengetahuan Mama. Namun, sampai kapan aku harus begini? “Sudahlah Reni!” Bisik hatiku. Baiklah... Sudah cukup tangisku dan amarahku tertumpah karenanya. Lebih baik, kuurusi hidupku sendiri tanpa pernah berbalik mengharapkannya lagi. Mungkin baginya aku perempuan hina, tapi aku bukan perempuan lemah juga bodoh yang akan meletakkan hatiku untuk diinjak-injak lagi, tidak oleh Ryan, maupun Ryan lain yang nanti akan hadir dalam hidupku.

-TAMAT-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun