[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi caleg perempuan /kompasiana (kompas.com)"][/caption]
Perhelatan “pesta” demokrasi akan segera diselenggarakan di seluruh Indonesia. Di awali dengan pemilihan legislatif pada 9 April 2014 mendatang, tentunya ke-15 Partai Politik di Negeri ini (3 ParLok untuk Caleg di Aceh) telah mempersiapkan para kader terbaiknya, baik laki-laki atau perempuan, untuk berlaga di “medan perang” menjadi legislator. Mereka – para caleg – telah dibekali dengan pemahaman yang benar, minimal tentang apa yang harus mereka lakukan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Dapil (Daerah Pemilihan) nya. Cukupkah itu saja?
Pada tulisan kali ini, penulis tak akan menyinggung kuoto caleg laki-laki yang berada di kisaran angka 70%. Namun, penulis lebih menitikberatkan akan fungsi Perempuan. Bagi para caleg laki-laki, diharapkan jangan takut bila perempuan juga ikut dalam pileg ini. Tugas perempuan bukannya ingin menggeser kedudukan lelaki. Mereka, perempuan hanya ingin berguna bagi bangsa dan negaranya.
Tugas Utama Caleg Perempuan
Sebagaimana yang dikatakan oleh Nurul Arifin pada acara Lawan Bicara 24 Februari 2014 yang lalu, dengan adanya hasil godokan mereka (Ang. DPR 2009) di komisi II, maka untuk pemilu tahun 2014 ini, keterwakilan perempuan meningkat dari sebelumnya yang hanya 18% menjadi 30%. Apalagi di 2014 ini, dari 744 calon legislatif di tingkat provinsi, 279 diantaranya perempuan atau 37,5 persen.
Hal ini membuka peluang bagi kaum perempuan yang sebelumnya kerap diremehkan, untuk lebih dapat mengaktualisasikan dirinya dalam hal berkontribusi bagi kepentingan negara. Namun, janji-janji politik klise semisal meningkatkan kesejahteraan rakyat saja, dirasakan belum cukup. Mereka - terlebih caleg perempuan – mesti benar-benar memperhatikan dan paham isu perempuan yang cukup marak belakangan ini, semisal pelecehan seksual di angkutan umum.
Apakah hanya caleg perempuan yang berhak atas kasus seperti ini? Tentunya tidak. Tanpa terkecuali, semua caleg – yang kemudian menjadi legislator – wajib memperhatikan isu dan peristiwa semacam ini. Namun, prioritas utamanya adalah menjadi wilayah legislator perempuan.
Baik, mungkin ada yang menganggap hal ini sepele. Namun tidak begitu lebih tepatnya. Hal seperti ini, perlu dicegah agar tak bertambahnya korban dari kaum perempuan itu sendiri. Mengapa perempuan harus berada di garda terdepan? Jelas memang harus perempuan. Hal ini disebabkan oleh kepekaan yang luar biasa yang ada pada diri perempuan – terlebih untuk kaumnya – yang kerap mendapat ketidakadilan.
Banyaknya pelecehan di dunia maya, yang berawal chatting di facebook dan berakhir perkosaan. Nah, hal-hal spesifik seperti ini yang merupakan ranah – katakan – yang utama yang harus dimasuki para legislator perempuan, selain isu Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun perkosaan dari seorang bapak – baik tiri maupun tidak – terhadap putrinya, yang juga masih kerap terjadi.
Baru-baru ini, ada Aisyah yang sebelumnya menjadi perawat bapaknya di atas becak. Juga kasus panti asuhan Samuel. Dan yang baru-baru ini terjadi, kasus penculikan bayi. Memang, menurut si penculik, perbuatannya hanya karena ia ingin punya anak, dan bayi Valencya pun telah kembali kepada orang tuanya. Namun, tak jarang juga, adanya kasus bayi yang diculik dan menjadi kasus Human Trafficking. Mundur ke belakang sedikit, tentunya kita masih belum melupakan kasus perbudakan pabrik kuali di Tangerang.
Untuk kasus Human Trafficking sendiri, Indonesia menjadi surganya. Menurut International Organization for Migration, Indonesia menempati peringkat teratas perdagangan manusia di dunia, sebesar 3.943 orang.
Mengertikan Caleg Perempuan Tentang Isu Perempuan?
Memang, Seharusnya pembekalan dari Partai Politik yang mengusung si caleg yang memang diharapkan telah dilakukan semaksimal mungkin, agar tak mempermalukan parpolnya sendiri jika si caleg perempuan – bila terpilih – menjadi legislator, tak cakap akan masalah perempuan. Pembekalannya kapan? Seharusnya sebelum diterjunkan langsung ke lapangan menjadi caleg. Apalagi para caleg yang tak memiliki basic pendidikan sosial dan politik, hal-hal yang berkenaan dengan sospol sendiri, tentunya selama ini luput dari perhatian mereka.
Jadi, tolonglah parpol YTH, adakanlah uji kompetensi caleg, supaya caleg ini belajar bagaimana dan apa fungsinya memiliki kuasa nanti. Jangan sampai ada kesan asal comot demi memenuhi kuota. Pada pemilu yang akan datang, ini mutlak dilakukan, agar mereka – caleg perempuan tak mempermalukan perempuan lainnya juga.
Seperti yang dikatakan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar, Misalnya berupa pemahaman tentang isu tumbuh kembang anak atau kesehatan bagi ibu dan anak. "Tantangan bagi mereka, bagaimana setelah terpilih, kalau tidak memenuhi janji saat kampanye, bersedia mundur.”
Isu-isu publik seputar perempuan sendiri yang harus – patut menjadi prioritas si caleg perempuan. Dikatakan oleh Fahira Idris, “Kewajiban kita, para caleg perempuan adalah paham isu-isu publik. Ini mutlak dikuasai. Tanpa paham isu-isu publik, pemilih tidak akan melirik apalagi memilih kita.”
Contoh-contoh yang telah penulis sebutkan tadi, menurut hemat penulis, tak boleh luput dari perhatian perempuan. Di sinilah, peran para caleg – legislator perempuan dituntut kontribusinya. Mereka harus terjun langsung menyelesaikankan persoalan tersebut. Tak perlu dengan berteriak lantang ke hadapan pemerintah dan juga tak perlu banyak bicara, melainkan langsung peka dan bekerja. Jangan sampai menang pileg lantas hanya berleha-leha dan bepergian ke luar negeri seenak hati tanpa mengetahui fungsinya terpilih menjadi legislator.
*
Memang benar, banyak tugas yang harus cakap dan sigap diemban oleh para caleg perempuan. Jangan sampai, jatah kuota 30% – bahkan 37% di Pemilihan Legislatif 2014 ini, dirasakan sia-sia oleh masyarakat yang telah memilihnya, apalagi jika sampai terlibat kasus Korupsi.
Bila selama 5 tahun mendatang, keterwakilan perempuan di pemerintahan ini berhasil dan sukses mengemban amanah serta menjadi pelayan masyarakat - khususnya perempuan dan anak - penulis optimis, jangankan 40%, kuota 50% di pemerintahan akan berada di tangan perempuan. Dengan demikian, akan jelas terasa pemerataan fungsi perempuan di parlemen Indonesia.
Untuk itu, caleg perempuan yang akan menjadi legislator di Indonesia nanti, diharapkan akan dapat mengangkat harkat dan martabat perempuan indonesia yang berada di kawasan timur ini, tentunya yang ramah, sopan, beretika, dan tahu menempatkan diri serta menjunjung tinggi norma agama. [AZ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H